Sejak
bergulirnya kasus dugaan penistaan agama yang dialamatkan kepada Ahok,
pemerintah Jokowi-JK seolah mendapat tekanan publik untuk ikut berperan aktif
dalam melakukan pengawalan atas kasus tersebut. Bahkan tak tanggung-tanggung,
pasca demo 4 November 2016 lalu, ekspresi tersebut diperlihatkan Pemerintah
dengan sibuk melakukan konsolidasi kepada organisasi keagamaan, partai politik
maupun tokoh lainnya. Alasannya sederhana, karena ingin mendapatkan masukan
dari berbagai pihak atas intervensi kasus yang melibatkan banyak publik
bersuara. Namun sangat disayangkan, dari November hingga Desember 2016 seolah
fokus pemerintah tersedot menghadapi tekanan etis publik ditambah lagi dengan
adanya gelaran atau doa bersama pada Jum’at 2 Desember 2016 lalu. Kesibukan ini
terlihat mulai dari Satpol PP, Kepolisian, TNI, Kejaksaan dan
Kementerian/Lembaga (K/L) atau SKPD Pemda Daerah lainya—habis terkuras
energinya untuk menuntaskan persoalan ini.
Menurut
saya terlalu berlebihan jika stakeholder
super sibuk pada kasus tersebut. Bahkan terlintas dalam pikiran saya, apakah
tidak ada persoalan lain yang begitu penting di negara ini sehingga bangsa ini
amat terfokus terhadap gerakan “212
Desember”. Padahal moment 2 Desember merupakan hari yang paling
penting untuk diingat selain ada gerakan 212 itu, yaitu hari Penghapusan
Perbudakan Internasional yang diperingati setiap tanggal 2 Desember.
Perbudakan
modern sungguh sangat luas, bahkan bukan hanya sekedar di wilayah kelas sosial
manusia, tetapi lebih dari itu. Ini berarti perbudakan masih terus ada bukan
hanya pada zaman silam, tetapi hingga kini. Kasus perdangan manusia, organ
tubuh perempuan, budak seks, dan sejenisnya masih berkeliaran di negeri ini.
Belum lagi kasus perbudakan di wilayah tenaga kerja, seolah menjadi daftar
kelam masalah perbudakan belum selesai. Perbudakan bukan milik masa lalu tapi
kenyataan kejam pada zaman kita, ini menampilkan luasnya perbudakan zaman
modern.
Mantan
Sekjen PBB, Ban Ki-Moon pernah berkata ketika memperingati Hari Penghapusan
Perbudakan Internasional yang selalu jatuh pada 2 Desember 2015 lalu.
Menurutnya, perbudakan
masih eksis dengan berbagai bentuk. Berabad-abad lalu,
negara-negara kolonial menjadikan orang-orang Afrika sebagai budak untuk dibawa
dan diperjualbelikan, sampai akhirnya dipekerjakan secara tidak manusiawi.
“Mereka mengalami kekerasan yang mengerikan, termasuk perbudakan seksual dan
reproduktif, prostitusi secara paksa, pelecehan seksual yang berulang, serta
pemaksaan untuk melahirkan anak demi penjualan anak,” tambahnya.
Namun
meski Hari Penghapusan Perbudakan Internasional sudah ditetapkan sejak 2
Desember 1986, perbudakan itu sendiri masih eksis dalam beberapa bentuk. Sebut
saja buruh paksa, perdagangan manusia, hingga eksploitasi seksual. “Praktek itu
adalah kejahatan terburuk dan aib pada sejarah umat manusia. Praktek-praktek
(perbudakan modern) itu takkan eksis tanpa rasisme mendalam. Lebih lanjut
menurutnya, “Pada
hari peringatan (Penghapusan Perbudakan) ini, saya menyerukan pembaruan
komitmen kita untuk mengakhiri perbudakan modern, agar anak-anak kita bisa
hidup di dunia tanpa rasisme dan prasangka dengan kesempatan dan hak yang sama
untuk semua,” tandasnya.
Pernyataan
Ban Kimon tahun lalu seolah menjadi peringatan keras untuk jadi pelajran
Pemerintah Indoensia pada saat ini, menjelang peringatan detik-detik hari
Penghapusan Perbudakan, kita masih saja berpolemik dengan sangkaan isu
sensitifitas agama dan ras/etnis. Sangat disayangkan dan disedihkan, hari ini
kita terlalu sibuk dengan hal yang seharusnya kita lewati dengan keberagaman
dan kedamaian sesuai asas bangsa “Bhinneka
Tunggal Ika”.
Pelajaran
berharga lainnya seharusnya pemerintah melihat pola perbudakan modern di
Indonesia seperti dalam kasus Buruh, PRT, Perdagangan Manusia, Perbudakan
Seksual, dan isu-isu perbudakan lainnya, menjadi prioritas Pemerintah untuk
memastikan bangsa Indonesia bermartabat dan merdeka yang sesungguhnya.
Pemerintah Jokowi-JK seharusnya lebih sibuk dengan program seperti peningkatan
kapasitas ekonomi, pemberdayaan manusia, perlidungan hukum dan yang lebih
spesifik pada persoalan bangsa. Seperti dalam kasus kekerasan seksual yang
hingga kini semakin akut. Bahkan pemerintah-DPR hinga kini sibuk seperti
pemadam kebakaran, hanya melihat riakan respon aktual, bukan respon
komprehensif.
Hal itu
terlihat dalam kasus kasus kekerasan seksual pada bulan-bulan lalu, puncaknya
ketika kasus YY, EN dan yang lainya menjadi isu publik. Setelah itu,
Pemerintah-DPR beramai-ramai berbondong-bondong komitmen untuk membahas
persoalan kekerasan seksual menjadi prolegnas prioritas, hasilnya adalah dengan
mengesahkan Perpu Kebiri (UU Perlidungan Anak), tetapi RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual hanya dibicarakan di wilayah forum akademisi saja. Padahal
antara UU Perlindungan Anak dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berbeda.
Namun sama-sama urgen dan perlu mendapat perhatian.
*Salam
Pecinta Kesederhanaan.