Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Friday, 22 April 2016

Perjalanan “Keadilan Perempuan” di Hari Kartini


Siapa yang tak kenal Kartini, ia dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang gigih memperjuangkan konsep emansipasi perempuan pada abad 19-an. Ia juga menjadi inspirator dikalangan aktivis kesetaraan gender. Tokoh yang terlahir pada tanggal 21 April 1879 di Kota Jepara ini, kemudian dikukuhkan sebagai Hari Kartini, tak lain untuk menghormati jasa-jasanya sebagai pahlawan bangsa.

Jauh sebelum itu, proses perjuangan panjang Kartini bisa dilihat jelas ketika berusia sekitar 24 tahun, dimana Kartini menuangkan sebagian curahan hati tentang diskriminasi dan protes terhadap budaya patriarki kala itu. Lewat kumpulan nota-nota atau surat tersebut juga menjadi awal mula lahirnya buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” (door duisternis tot licht). Menurut sejarawan Asvi, dua nota yang dikirimkan Kartini kepada Menteri Jajahan, AWF Indenburg dan Gubernur Jenderal Hidia Belanda, Willem Rooseboom, pada tahun 1903. Saat itu menteri Idenburg tengah mempersiapkan undang-undang Pendidikan bagi negeri Jajahan. Kartini diberi pertanyaan seputar pendidikan bagi perempuan Jawa; Tindakan apa yang cocok untuk membuat bangsa Jawa lebih maju dan lebih sejahtera? Ke arah mana pengajaran harus diperbaiki dan diperluas? Jawaban kartini sangat tajam, “orang Belanda suka menertawakan dan mengolok-olok kebodohan bangsa kami, tetapi kalau kami mau belajar mereka menghalang-halangi dan mengambil sikap memusuhi kami…”. (Asvi WA, Menguak Misteri Sejarah, Kompas, 183-185).

Belum lagi curahan hati tentang ketidakadilan keluarganya ketika ia dipingit, dijodohkan dan tidak boleh ikut sekolah kejenjang yang lebih tinggi, menjadi pengalaman pahit rentetan diskriminasi baginya. Seperti yang tergambarkan dalam buku Armijn Pane (penj), Habis Gelap Terbitlah Terang, dikatakan:

Ketika masa sekolah, kartini merasa menjadi seorang yang bebas, ketika sudah berumur 12 tahun tiba-tiba ia dipaksa dipingit (ditutup akses) interaksi. Sahabt-sahabtnya orang belanda, mencari Kartini supaya ia jangan dipingit, tetapi usaha tersebut sia-sia. Orang tua kartini memegang adat memingit dengan teguh, meskipun dalam hal-hal lain sudah maju, bahkan sebenarnya keluarga yang termaju di Pulau Jawa. Empat tahun lamanya kartini tiada diizinkan keluar-keluar. Tetapi, semangat zaman tiada dapat diulangi. Sahabt-sahabat orang erapo tiada berhenti-henti beriktiyar, supaya kartini diberi kemerdekaannya kembali, maka waktu sudah berumur 16 tahun (1895), bolehkan dia melihat dunia luar lagi. Enam bulan kemudian diizinkan pula keluar sekali lagi kemudian dipingit lagi tetapi baru dalam tahun 1889 diberi kemerdekaan dengan officieel, bahkan diizinkan turu bepergian ke luar tempat tinggalnya. Sudah tentu mendapat celaan dari orang banyak. Tetapi kartini belum puas, dia hendak berdiri sendiri, supaya tak usah nikah.”

Cerita di atas memperlihatkan betapa kerasnya arus diskriminasi lahir kala itu. Frame diskriminasi bisa lahir dari sistem maupun sub sosial-budaya-agama. Jika kita melihat lebih dalam, sebetulnya Kartini menginginkan perempuan mendapat perlakuaan yang adil seperti orang Hindia Belanda kala itu, karena baginya, keadilan merupakan tujuan dari perjuangan untuk mencapai segalanya.

Bagaimana dengan Kondisi sekarang?

Menurut data BPS (badan pusat statistik), tercatat pada tahun 2014 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 252 juta jiwa. Dengan sex ratio sebesar 101,01, menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki masih sedikit lebih besar dibanding dengan penduduk perempuan. Komposisi jumlah penduduk laki-laki yang lebih dominan dari perempuan hampir terjadi pada semua kelompok umur, kecuali usia tua yaitu 65 tahun ke atas. Menurutnya juga, jenis kelamin masih sering digunakan sebagai persyaratan dalam pembagian kerja. Laki-laki memiliki kewajiban untuk mencari nafkah dan bekerja, sedangkan perempuan memiliki kewajiban untuk mengurus rumah tangga. Selain itu, laki-laki dianggap memiliki fisik yang kuat yang menyebabkan laki-laki memiliki peluang lebih tinggi untuk mendapatkan kesempatan kerja dibandingkan perempuan. Namun disisi lain, banyak juga jenis pekerjaan yang mensyaratkan dilakukan oleh perempuan karena lebih memerlukan ketelatenan dan ketelitian. Lihat data di bawah ini:
Perbedaan kesempatan kerja tersebut berdampak pada partisipasi tenaga kerja yang tercermin dari angka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Pada tahun 2014 angka TPAK perempuan hanya sekitar 50 persen, sedangkan TPAK laki-laki sudah mencapai sekitar 80 persen. Angka TPAK ini menunjukkan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek ketenagakerjaan. Terlihat bahwa persentase perempuan yang bekerja masih jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Pada tahun 2014, proporsi perempuan yang bekerja sebesar 47,08 persen sedangkan proporsi laki-laki mencapai 78,27 persen. Lihat di bawah ini:
Rendahnya TPAK perempuan dapat dilihat pada kegiatan seminggu yang lalu yang sekaligus menunjukkan adanya stigma pembagian peran laki-laki adalah bekerja dan perempuan adalah mengurus rumah tangga. Pada 2014 diperoleh bahwa selain bekerja, kegiatan lain yang dilakukan perempuan seminggu yang lalu adalah mengurus rumah tangga dengan proporsi hampir 38 persen. Sementara laki-laki yang mengurus rumah tangga hanya sebesar 2 persen. Angka ini yang seolah menjadi pertanda bahwa ketidakadilan perempuan memang masih berjalan hingga kini dan itu seolah terlegitimasi di wilayah warisan budaya (culture heritage) kita. Upaya dekonstruksi menjadi titik poin bagamana seharusnya perempuan mendapat keadilan secara subtantif.

Bagaimana dengan kondisi Perempuan dalam Sub Hukum?

Perjalanan panjang akan perjuangan kesetaraan tidak hanya berakhir pada masa Kartini saja, tetapi hingga saat ini ketidakadilan terhadap akses, manfaat, partisipasi dan kotrol terhadap perempuan masih saja tetap diberlakukan. Contoh kecil ketidak adilan gender bisa dilihat dari peraturan Bupati Purwakarta No. 69 Tahun 2015 Tentang Pendidikan Berkarakter, dimana tertuang secara jelas yaitu:

 Upaya maskulinisasi dan femininimisasi dalam pasal 26 tersebut menjadi jelas bahwa perempuan dan laki-laki diperlakukan secara berbeda. Bupati Purwakarta memahami eksisten “karakter” seperti sesuatu yang harus ditentukan berdasarkan jenis kelamin, bahwa anak laki-laki harus bisa menanam, meramu, bergembala (hunter). Sebaliknya memiliki keterampilan memasak, menenun, menyulam,  harus dimiliki bagi perempuan (gatherer). 

**
Pertanyaanya adalah apakah hanya cukup mengenang hari Kartini 21 April saja sudah cukup menggembirakan bahwa upaya keadilan perempuan bisa didapatkan? Apakah dihari ke-137 tahun lahirnya Kartini hingga kini menjadi pertanda bahwa keadilan dan kesetaraan gender sudah di dapat? Jawabannya jelas “tidak”. Kartini hanya sebatas Kartini, Kartini dulu melawan Hindia Belanda, Kartini dulu melawan domestifikasi keluarga dan adat agama. Perlawanan Kartini dulu hingga sekarang masih tetap berjalan, keadilan bagi perempuan dan laki-laki menjadi harga mati untuk sebuah perjuangan. Data BPS terkait peningkatan ketidakadilan tidak hanya sebatas lip service saja, ia bentuk rentetan perjalan panjang bagaimana Kartini Baru menjelma di tataran sistem, struktur maupun budaya (adat) dalam keadilan maupun kesetaraan. Kartini bukan untuk dikenang, bukan pula upaya seremonial Kementerian/Lembaga ataupun masyarakat, tetapi bagaimana capaian indeks pembangunan perempuan bersamaan dengan indikator keberhasilan keadilan, kesetaraan, non disrkiminasi antara laki-laki dan perempuan. Jika hanya sebatas upaya seremonial ia tak lebihnya seperti manusia yang hobinya bercerita tetapi minim untuk diceritakan (homo festifus). Ia tak ubahnya hanya menjadi penjilat sejarah, ketimbang mengukir peradaban sejarah.

*Salam Pecinta Kesederhanaan