Hukum sebagaimana ditegaskan oleh
penganut teori hukum kodrat maupun positifisme hukum, bertujuan menciptakan
tatanan sosial (social order) demi melindungi dan menjamin kepentingan umum. Dalam
arti ini, hukum sebetulnya memaminkan peran paradoksal: disatu sisi hukum
memfasilitasi kebebasan masyarakat untuk mengejar dan merealisasi
kepentingannya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, hukum membatasi ruang
kebebasan masyarakat. Dengan adanya hukum, masyarakat tidak bertingdak tanpa
memperhatikan kepentingannya memberi ruang gerak bagi yang lain untuk mengejar
dan mewujudkan apa yang dipandangnya berharga dan bernilai bagi dirinya. Dengan
adanya hukum, kebebasan yang digunakan secara sewenang-wenang dalam situasi
alamiah, atau prejudicial society
dalam bahasa Kant, untuk memenangkan kepentingan sendiri, kini diatur dan
dibatasi sehingga pelaksanaaannya tidak melanggar hak dan kepentingan pihak
lain. (Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum Membela Keadilan Kanisius,
123).
Persoalannya adalah sejauh mana
polarisasi antara hak satu dengan hak yang lain bisa saling tidak bertentangan
seperti dalam kasus moralitas, etika dan hukum saling tarik menarik kedalam
ruang negara? Hal ini seperti perdebatan tentang kriminalisasi terhadap pelaku zina
dalam pengertian sosial masyarakat. Konon,
perdebatan ini sebetulnya sudah dibahas pada pembuatan NA RUU KUHP pertama
kali, dengan salah satu alasan bahwa norma KUHP saat ini sudah tidak sesuai
dengan konstruksi hukum Indonesia. Persoalan lainnya juga yaitu tarik menarik antara
kewenangan negara terlalu ikut campur ke wilayah private menjadi semakin diperhatikan.
Belum lagi perdebatan antara yang lebih spesifik seperti apakah semua perbuatan
pidana dikatakan delik pidana jika ia memuat unsur paksaan dan adanya akibat
dari peristiwa tersebut? Sejauh mana moral
dignity mempengaruhi pertimbangan ia menjadi sebuah alasan pidana? apakah
setiap tindakan moral yang tidak etis dalam masyarakat bisa dijadikan ia
termasuk dalam tindak pidana? Selain itu juga, bagaimana implikasinya jika tindak
pidana kesusilaan yang bersumber dari KUHP dan undang-undang di luar KUHP.
Dalam merumuskan norma hukum pidana di
bidang kesusilaan juga mempertimbangkan hasil penelitian dan masukan dari
diskusi kelompok terfokus serta perkembangan hukum dalam yurisprodensi dan
praktek penegakan hukum. Struktur pokok perumusan tindak pidana kesusilaan:
a.
Norma
hukum pidana dalam KUHP yang direformulasi dan disesuaikan dengan nilai kesusilaan
masyarakat hukum Indonesia (konsep hukum tentang zina dan kesusilaan).
b.
Norma
hukum pidana yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun2008 tentang
Pornografi, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang dirumuskan menjadi tindak pidana pornografi, pornografi
melalui media elektronik, dan pornografi yang melibatkan anak, perkosaan dalam
rumah tangga).
c.
Norma
hukum pidana yang bersumber dari hukum adat atau hukum yang hidup dalam
masyarakat (tindak pidana hidup bersama tanpa nikah).
d.
Kebijakan
perumusan pemberatan ancaman pidana ditujukan kepada tindak pidana di bidang
kesusilaan yang melibatkan anak. (NA RUU KUHP)
Dalam
Simposium tentang pembaharuan hukum pidana yang diadakan di Semarang pada
tanggal 28 Agustus 1980, ditegaskan bahwa tujuan dari kebijakan menetapkan
suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminil dalam
arti keseluruhannya, yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan. Dikemukakan pula bahwa setiap kebijakan untuk meningkatkan
kesejahteraan harus disusun dan diletakkan dalam suatu perencanaan sosial yang
menyeluruh dan terpadu sehingga dapat dihindarkan akses-akses yang tidak
dikehendaki, khususnya yang menyangkut perkembangan kriminalitas. Lebih jauh
diakui bahwa salah satu jalan keluar yang strategis dalam penanggulangan
kriminalitas adalah peningkatan daya tahan atau daya tolak budaya, mengingat
kriminalitas sendiri pada hakekatnya merupakan bagian dari budaya manusia. (NA
RUU KUHP)
Khusus
mengenai pengertian kejahatan telah disepakati pula pengertian bahwa ia
merupakan suatu hal yang relative, bergantung pada penentuan sikap dan
kebijakan penguasa, serta berkaiatn erat dengan pola dan tata nilai budaya,
serta tata kaedah dan struktur masyarakat. Dan meskipun ada sifat-sifat
universal dari kejahatan, namun masih dibenarkan adanya pekecualian yang selalu
ada dalam setiap aturan, hal mana tidak terlepas dari budaya dan struktur
masyarakat.
Memperhatikan hal-hal yang telah
disepakti diatas, sebagai hasil dari suatu pengkajian dan diskusi yang cukup
luas dan mendalam, kiranya semua unsur-unsur dari ungkapan diatas dapat
digunakan sebagai ukuran dalam menentukan perbuatan-perbuatan apa sepatutnya
ditentukan sebagai tindak pidana kesusilaan ini.
Menarik pula apa yang telah dikemukakan
oleh Prof. Oemar Senoadji sekitar kejahatan terhadap kesusilaan ini bahwa dalam
mengisi dan mengarahkan delik-delik susila itu, seharusnyalah unsur-unsur agama
memegang peranannya. Baik sekali diperhatikan keterangan-keterangan beliau
sekitar adanya pandangan yang semata-mata melihat hubungan antara hukum dan
moral, seakan-akan pengaruh unsur agama terhadap hukum tidak mendapat
perhatian, khususnya dalam kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan. (NA RUU
KUHP)
Pasal
284, 285 dan 292 apakah bentuk Kejahatan atau Pelanggaran Moral?
Mengacu pada pasal 284, 285 dan 292,
bahwa Zina sebagai (1) perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan
yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan); (2) perbuatan
bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan dengan seorang
perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan
dengan seroang laki-laki yang bukan suaminya.
Pasal 284 (KUHP), a contrario, zina dilakukan diluar pernikahan legal, dalam konteks
kejahatan kesusilaan adalah menjaga dari serangan “kekerasan” terhadap badan.
Unsur “harm to other” disini sangat
jelas, makanya yang diatur disini terbatas pada larangan terhadap perkosaan,
pengguguran kandungan, perbuatan cabul, pelacuran, dan perzinahan. Perbuatan
yang dilarang bukan lagi terfokus pada “kehidupan seksual” (sebagaimana dalam
KUHP), tetapi sudah tidak terfokus lagi pada “bodily and psychological integrity”. Yang dimaksud dengan
melindungi “bodily and psycolagical
integrity” (integritas badan dan jiwa) dalam konteks kejahatan kesusilaan
adalah menjaga dari serangan “kekerasan” terhadap badan. Unsur “harm to other”
disini sangat jelas, makanya yang diatur disini terbatas pada larangan terhadap
perkosaan, pengguguran kandungan, perbuatan cabul, pelacuran, dan perzinahan. Karena
prinsipnya dalam kasus kesusilaan sesuai pasal 48 KUHP:”Barang siapa melakukan
perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan
tidak boleh dihukum”. (Laporan Komnas HAM dalam RUU KUHP)
Alihalih menjaga moralitas publik terhadap
seseorang atau lebih, malah mengkriminalkan seseorang/lebih karena diduga patut
berbuat tindak pidana sesuai pasal 292. Dalam konteks ini tindak pidana
kesusilaan dengan mengkriminalisasi terhadap perbuatan tersebut jelas tidak
diperlukan. Karena tidak ada “kekerasan” terhadap badan dan jiwa disitu atau
tidak ada “intentional harm-causing”
atau “risking to others”. Sehingga
kriminalisasi terhadap perbuatan ini merupakan tindak pidana tanpa korban atau “victimless crime”. Masalah ini
sebetulnya berada dalam wilayah “private” atau “civil liberties” yang
seharusnya dilindungi oleh negara baik dari “intervensi” masyarakat maupun
orang lain. Tindak pidana kesusilaan dalam pasal 284, 285 dan 292 menjadi
sangat kontradiksi jika dikaitkan dengan konteks yang berbeda, seperti pada
pasal 284 ditafsirkan secara a contrario yaitu penalaran hubungan zina antara
perempuan dan laki-laki dianggap benar jika ia tertulis secara sah, yang sah
dalam hubungan seksual baik sejenis maupun non sejenis, kedua yaitu problem
zina mengandung adanya paksaan apakah sama dengan perbuatan zina jika dilakukan
suka sama suka, ketiga adanya aspek kerelaan dalam hubungan seksual. Alhasil
jika logika Drafter RUU KUHP sama persis dengan apa yang di Judicial Riview di
MK saat ini, maka akan bertambahnya jenis tindak pidana. Selain itu, penafsiran
a contrario yang digunakan oleh
pemohon JR MK pada pasal 284, 285 dan 292 akan berakibat langsung bertambahnya
objek pidana, yaitu Pasal 284 mengatur pernikahan diluar yang sah baik
perempuan maupun laki-laki dianggap kejahatan, padahal ini telah diatur dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Begitu juga dengan Pasal 285 perkosaan bisa
juga dilakukan oleh laki-laki maka termasuk juga jenis kejahatan. Pasal 292 hubungan
dewasa sesama jenis juga.
Demakrasi
Moral dan Hukum?
Mari mengamati persoalan antara moral
dan hukum apakah saling berkaitan atau tidak itu bisa dilihat dari pengamatan Data
Kepolisian Daerah Tahun 2011-2013, dimana 10 daerah besar seperti Provinsi
Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka
Belitung dan Kepulauan Riau menempati posisi banyak angka kejahatan. (BPS,
Statistik Kriminal 2014, hlm. 24). Padahal 10 daerah tersebut merupakan basis penerapan
peraturan daerah yang bersendikan moralitas dan agama. Artinya ini tidak adanya
hubungan sebab akibat (causal verband)
antara moral dan tindak kejatahan.
Oleh karena itu, kebijakan
penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (social defence)
dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat
(social welfare) dan karena itu tujuan akhir dan tujuan utama dari politik
kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian maka politik
kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial
(yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial). (Barda Nawai
Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, h. 5)
Penerapan hukum pidana yang semula
sebagai upaya/cara terakhir (ultimum
remedium) menjadi upaya/cara pertama (primum
remedium). Pencantuman sanksi pidana dalam undang-undang sebagai primum
remedium sejatinya dapat mengakibatkan terlanggarnya hak-hak konstitusional
warga Negara Indonesia. Selain itu, pengajuan pengujian undang-undang terkait
sanksi pidana semakin bertambah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Titis
Anindyajati, Dkk dalam Jurnal Mahkamah Konstitusi, menunjukkan bahwa dari
undang-undang yang diundangkan sejak 2003 sampai dengan 2014 memosisikan norma
sanksi pidana sebagai primum remedium.
Hal ini dapat terlihat pada konstruksi pasal yang memuat sanksi pidana. Padahal
dalam konsepsi pemidanaan, sanksi pidana haruslah diposisikan sebagai ultimum remedium. Dalam pada itu, MK
sebagai pelindung hak konstitusional warga negara dan pelindung hak asasi
manusia memiliki peranan yang sangat penting untuk mengembalikan posisi sanksi
pidana sebagai ultimum remedium.
(Titis Anindyajati, dkk, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, Desember 2015,
h. 87).
Mengacu pada konsep pembaruan KUHP yang
didasarkan atas empat tujuan yakni misi dekolonisasi hukum pidana, misi
demokratisasi hukum pidana, misi konsolidasi hukum pidana, dan misi adaptasi
dan harmonisasi. Tim Penyusun RUU KUHP nampaknya menyadari bahwa misi pembaruan
KUHP bukan sekedar dekolonisasi melalui langkah-langkah rekodifikasi kembali
hukum pidana materiil. Artinya sistem nilai yang mendasari pentingnya pembaruan
KUHP bukan disandarkan pada misi tunggal
untuk meniadakan produk kolonial semata. Perlu ditimbang kembali apakah
landasan pemikiran mengenai produk hukum
yang dihasilkan semasa kolonial itu merupakan permasalahan mendasar yang
menjadi pertimbangan dalam pembaruan KUHP. Dan yang paling terpenting adalah kapankah
negara (Baca: Hukum pidana) bisa menjatuhkan hukuman, atau memperbolehkan orang
lain menghukum seseorang yang melakukan pelanggaran secara moral? Mungin saya
sepakat dengan Julian Baggini, dalam bukunya “Making Sense”, ketika perbuatan salah tersebut mengakibatkan kerugian
yang signifikan dan relevan. (Julian Baggini, Making Sense, Teraju Mizan,
h. 58)
“Salam Pecinta Kesederhanaan.