Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Monday, 5 December 2016

2 Desember Hari Penghapusan Perbudakan Internasional

Sejak bergulirnya kasus dugaan penistaan agama yang dialamatkan kepada Ahok, pemerintah Jokowi-JK seolah mendapat tekanan publik untuk ikut berperan aktif dalam melakukan pengawalan atas kasus tersebut. Bahkan tak tanggung-tanggung, pasca demo 4 November 2016 lalu, ekspresi tersebut diperlihatkan Pemerintah dengan sibuk melakukan konsolidasi kepada organisasi keagamaan, partai politik maupun tokoh lainnya. Alasannya sederhana, karena ingin mendapatkan masukan dari berbagai pihak atas intervensi kasus yang melibatkan banyak publik bersuara. Namun sangat disayangkan, dari November hingga Desember 2016 seolah fokus pemerintah tersedot menghadapi tekanan etis publik ditambah lagi dengan adanya gelaran atau doa bersama pada Jum’at 2 Desember 2016 lalu. Kesibukan ini terlihat mulai dari Satpol PP, Kepolisian, TNI, Kejaksaan dan Kementerian/Lembaga (K/L) atau SKPD Pemda Daerah lainya—habis terkuras energinya untuk menuntaskan persoalan ini.

Menurut saya terlalu berlebihan jika stakeholder super sibuk pada kasus tersebut. Bahkan terlintas dalam pikiran saya, apakah tidak ada persoalan lain yang begitu penting di negara ini sehingga bangsa ini amat terfokus terhadap gerakan “212 Desember”. Padahal moment 2 Desember merupakan hari yang paling penting untuk diingat selain ada gerakan 212 itu, yaitu hari Penghapusan Perbudakan Internasional yang diperingati setiap tanggal 2 Desember. 

Di mana dari perbudakanlah inilah manusia-manusia yang terbelenggu menjadi manusia yang merdeka. Apakah pemerintah Indonesia tidak ikut serta menghapuskan isu perbudakan modern, apakah isu ini terlalu sudah basi? Atau memang hanya sebatas katastrofa para pejabat/politisi untuk mendaur ulang jika ada persoalan yang publik ramai dibicarakan. Padahal, seperti yang dikutip Kompas, bahwa sebanyak 21 juta orang, termasuk sebanyak lima juta anak kecil, di seluruh dunia terjebak dalam perbudakan temporer, kata Kantor Komisaris Urusan Hak Asasi Manusia PBB, Senin (28/11/2016).

Perbudakan modern sungguh sangat luas, bahkan bukan hanya sekedar di wilayah kelas sosial manusia, tetapi lebih dari itu. Ini berarti perbudakan masih terus ada bukan hanya pada zaman silam, tetapi hingga kini. Kasus perdangan manusia, organ tubuh perempuan, budak seks, dan sejenisnya masih berkeliaran di negeri ini. Belum lagi kasus perbudakan di wilayah tenaga kerja, seolah menjadi daftar kelam masalah perbudakan belum selesai. Perbudakan bukan milik masa lalu tapi kenyataan kejam pada zaman kita, ini menampilkan luasnya perbudakan zaman modern.

Mantan Sekjen PBB, Ban Ki-Moon pernah berkata ketika memperingati Hari Penghapusan Perbudakan Internasional yang selalu jatuh pada 2 Desember 2015 lalu. Menurutnya, perbudakan masih eksis dengan berbagai bentuk. Berabad-abad lalu, negara-negara kolonial menjadikan orang-orang Afrika sebagai budak untuk dibawa dan diperjualbelikan, sampai akhirnya dipekerjakan secara tidak manusiawi. “Mereka mengalami kekerasan yang mengerikan, termasuk perbudakan seksual dan reproduktif, prostitusi secara paksa, pelecehan seksual yang berulang, serta pemaksaan untuk melahirkan anak demi penjualan anak,” tambahnya. 

Namun meski Hari Penghapusan Perbudakan Internasional sudah ditetapkan sejak 2 Desember 1986, perbudakan itu sendiri masih eksis dalam beberapa bentuk. Sebut saja buruh paksa, perdagangan manusia, hingga eksploitasi seksual. “Praktek itu adalah kejahatan terburuk dan aib pada sejarah umat manusia. Praktek-praktek (perbudakan modern) itu takkan eksis tanpa rasisme mendalam. Lebih lanjut menurutnya,  “Pada hari peringatan (Penghapusan Perbudakan) ini, saya menyerukan pembaruan komitmen kita untuk mengakhiri perbudakan modern, agar anak-anak kita bisa hidup di dunia tanpa rasisme dan prasangka dengan kesempatan dan hak yang sama untuk semua,” tandasnya.
Pernyataan Ban Kimon tahun lalu seolah menjadi peringatan keras untuk jadi pelajran Pemerintah Indoensia pada  saat ini, menjelang peringatan detik-detik hari Penghapusan Perbudakan, kita masih saja berpolemik dengan sangkaan isu sensitifitas agama dan ras/etnis. Sangat disayangkan dan disedihkan, hari ini kita terlalu sibuk dengan hal yang seharusnya kita lewati dengan keberagaman dan kedamaian sesuai asas bangsa “Bhinneka Tunggal Ika”

Pelajaran berharga lainnya seharusnya pemerintah melihat pola perbudakan modern di Indonesia seperti dalam kasus Buruh, PRT, Perdagangan Manusia, Perbudakan Seksual, dan isu-isu perbudakan lainnya, menjadi prioritas Pemerintah untuk memastikan bangsa Indonesia bermartabat dan merdeka yang sesungguhnya. Pemerintah Jokowi-JK seharusnya lebih sibuk dengan program seperti peningkatan kapasitas ekonomi, pemberdayaan manusia, perlidungan hukum dan yang lebih spesifik pada persoalan bangsa. Seperti dalam kasus kekerasan seksual yang hingga kini semakin akut. Bahkan pemerintah-DPR hinga kini sibuk seperti pemadam kebakaran, hanya melihat riakan respon aktual, bukan respon komprehensif.

Hal itu terlihat dalam kasus kasus kekerasan seksual pada bulan-bulan lalu, puncaknya ketika kasus YY, EN dan yang lainya menjadi isu publik. Setelah itu, Pemerintah-DPR beramai-ramai berbondong-bondong komitmen untuk membahas persoalan kekerasan seksual menjadi prolegnas prioritas, hasilnya adalah dengan mengesahkan Perpu Kebiri (UU Perlidungan Anak), tetapi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hanya dibicarakan di wilayah forum akademisi saja. Padahal antara UU Perlindungan Anak dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berbeda. Namun sama-sama urgen dan perlu mendapat perhatian. 

BahkanRUU Penghapusan Kekerasan Seksual beserta Naskah Akademis telah diserahkan Komnas Perempuan dan FPL kepada DPR RI. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur komprehensif sejak pencegahan, pelaporan, penegakan hukum dan pemulihan korban yang melibatkan berbagai sektor sehingga peran lintas komisi diantaranya Komisi III, Komisi VIII dan Komisi IX sebagai Pansus dalam pembahasan menjadi strategis dan urgent.

Apakah masih kurang sebanyak 321.752 kasus kekerasan seksual untuk membuka mata para stakeholders. Ataukah pemerintah-DPR menunggu ada kasusnya terulang kembali,seperti perbudakan  seks  seorang  anak  perempuan  oleh  ayah mertua di Tapanuli Selatan,belum lagi kasus perbudakan dan eksploitasi hingga mengakibatkan kematian dan hilangnya sejumlah PRT di Medan serta kasus penyekapan PRT di Bogor, Bintaro dan Tangerang Selatan. Hanya dengan kata “Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai upaya bentuk penghapusan terhadap perbudakan seksual di Indonesia,  merupakan  langkah pasti pemerintah dalam memaknai hari Penghapusan PerbudakanInternasional 2 Desember.

*Salam Pecinta Kesederhanaan.

Wednesday, 2 November 2016

Logika Pemidanaan Moral dalam KUHP

Hukum sebagaimana ditegaskan oleh penganut teori hukum kodrat maupun positifisme hukum, bertujuan menciptakan tatanan sosial (social order) demi melindungi dan menjamin kepentingan umum. Dalam arti ini, hukum sebetulnya memaminkan peran paradoksal: disatu sisi hukum memfasilitasi kebebasan masyarakat untuk mengejar dan merealisasi kepentingannya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, hukum membatasi ruang kebebasan masyarakat. Dengan adanya hukum, masyarakat tidak bertingdak tanpa memperhatikan kepentingannya memberi ruang gerak bagi yang lain untuk mengejar dan mewujudkan apa yang dipandangnya berharga dan bernilai bagi dirinya. Dengan adanya hukum, kebebasan yang digunakan secara sewenang-wenang dalam situasi alamiah, atau prejudicial society dalam bahasa Kant, untuk memenangkan kepentingan sendiri, kini diatur dan dibatasi sehingga pelaksanaaannya tidak melanggar hak dan kepentingan pihak lain. (Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum Membela Keadilan Kanisius, 123).

Persoalannya adalah sejauh mana polarisasi antara hak satu dengan hak yang lain bisa saling tidak bertentangan seperti dalam kasus moralitas, etika dan hukum saling tarik menarik kedalam ruang negara? Hal ini seperti perdebatan tentang kriminalisasi terhadap pelaku zina dalam pengertian sosial masyarakat.  Konon, perdebatan ini sebetulnya sudah dibahas pada pembuatan NA RUU KUHP pertama kali, dengan salah satu alasan bahwa norma KUHP saat ini sudah tidak sesuai dengan konstruksi hukum Indonesia. Persoalan lainnya juga yaitu tarik menarik antara kewenangan negara terlalu ikut campur ke wilayah private menjadi semakin diperhatikan. Belum lagi perdebatan antara yang lebih spesifik seperti apakah semua perbuatan pidana dikatakan delik pidana jika ia memuat unsur paksaan dan adanya akibat dari peristiwa tersebut? Sejauh mana moral dignity mempengaruhi pertimbangan ia menjadi sebuah alasan pidana? apakah setiap tindakan moral yang tidak etis dalam masyarakat bisa dijadikan ia termasuk dalam tindak pidana? Selain itu juga, bagaimana implikasinya jika tindak pidana kesusilaan yang bersumber dari KUHP dan undang-undang di luar KUHP. 

Dalam merumuskan norma hukum pidana di bidang kesusilaan juga mempertimbangkan hasil penelitian dan masukan dari diskusi kelompok terfokus serta perkembangan hukum dalam yurisprodensi dan praktek penegakan hukum. Struktur pokok perumusan tindak pidana kesusilaan:
a.    Norma hukum pidana dalam KUHP yang direformulasi dan disesuaikan dengan nilai kesusilaan masyarakat hukum Indonesia (konsep hukum tentang zina dan kesusilaan).
b.    Norma hukum pidana yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun2008 tentang Pornografi, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dirumuskan menjadi tindak pidana pornografi, pornografi melalui media elektronik, dan pornografi yang melibatkan anak, perkosaan dalam rumah tangga).
c.    Norma hukum pidana yang bersumber dari hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat (tindak pidana hidup bersama tanpa nikah).
d.    Kebijakan perumusan pemberatan ancaman pidana ditujukan kepada tindak pidana di bidang kesusilaan yang melibatkan anak. (NA RUU KUHP)

Dalam Simposium tentang pembaharuan hukum pidana yang diadakan di Semarang pada tanggal 28 Agustus 1980, ditegaskan bahwa tujuan dari kebijakan menetapkan suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminil dalam arti keseluruhannya, yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Dikemukakan pula bahwa setiap kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan harus disusun dan diletakkan dalam suatu perencanaan sosial yang menyeluruh dan terpadu sehingga dapat dihindarkan akses-akses yang tidak dikehendaki, khususnya yang menyangkut perkembangan kriminalitas. Lebih jauh diakui bahwa salah satu jalan keluar yang strategis dalam penanggulangan kriminalitas adalah peningkatan daya tahan atau daya tolak budaya, mengingat kriminalitas sendiri pada hakekatnya merupakan bagian dari budaya manusia. (NA RUU KUHP)

Khusus mengenai pengertian kejahatan telah disepakati pula pengertian bahwa ia merupakan suatu hal yang relative, bergantung pada penentuan sikap dan kebijakan penguasa, serta berkaiatn erat dengan pola dan tata nilai budaya, serta tata kaedah dan struktur masyarakat. Dan meskipun ada sifat-sifat universal dari kejahatan, namun masih dibenarkan adanya pekecualian yang selalu ada dalam setiap aturan, hal mana tidak terlepas dari budaya dan struktur masyarakat.

Memperhatikan hal-hal yang telah disepakti diatas, sebagai hasil dari suatu pengkajian dan diskusi yang cukup luas dan mendalam, kiranya semua unsur-unsur dari ungkapan diatas dapat digunakan sebagai ukuran dalam menentukan perbuatan-perbuatan apa sepatutnya ditentukan sebagai tindak pidana kesusilaan ini.
Menarik pula apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Oemar Senoadji sekitar kejahatan terhadap kesusilaan ini bahwa dalam mengisi dan mengarahkan delik-delik susila itu, seharusnyalah unsur-unsur agama memegang peranannya. Baik sekali diperhatikan keterangan-keterangan beliau sekitar adanya pandangan yang semata-mata melihat hubungan antara hukum dan moral, seakan-akan pengaruh unsur agama terhadap hukum tidak mendapat perhatian, khususnya dalam kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan. (NA RUU KUHP)

Pasal 284, 285 dan 292 apakah bentuk Kejahatan atau Pelanggaran Moral?

Mengacu pada pasal 284, 285 dan 292, bahwa Zina sebagai (1) perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan); (2) perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seroang laki-laki yang bukan suaminya.

Pasal 284 (KUHP), a contrario, zina dilakukan diluar pernikahan legal, dalam konteks kejahatan kesusilaan adalah menjaga dari serangan “kekerasan” terhadap badan. Unsur “harm to other” disini sangat jelas, makanya yang diatur disini terbatas pada larangan terhadap perkosaan, pengguguran kandungan, perbuatan cabul, pelacuran, dan perzinahan. Perbuatan yang dilarang bukan lagi terfokus pada “kehidupan seksual” (sebagaimana dalam KUHP), tetapi sudah tidak terfokus lagi pada “bodily and psychological integrity”. Yang dimaksud dengan melindungi “bodily and psycolagical integrity” (integritas badan dan jiwa) dalam konteks kejahatan kesusilaan adalah menjaga dari serangan “kekerasan” terhadap badan. Unsur “harm to other” disini sangat jelas, makanya yang diatur disini terbatas pada larangan terhadap perkosaan, pengguguran kandungan, perbuatan cabul, pelacuran, dan perzinahan. Karena prinsipnya dalam kasus kesusilaan sesuai pasal 48 KUHP:”Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum”. (Laporan Komnas HAM dalam RUU KUHP)

Alihalih menjaga moralitas publik terhadap seseorang atau lebih, malah mengkriminalkan seseorang/lebih karena diduga patut berbuat tindak pidana sesuai pasal 292. Dalam konteks ini tindak pidana kesusilaan dengan mengkriminalisasi terhadap perbuatan tersebut jelas tidak diperlukan. Karena tidak ada “kekerasan” terhadap badan dan jiwa disitu atau tidak ada “intentional harm-causing” atau “risking to others”. Sehingga kriminalisasi terhadap perbuatan ini merupakan tindak pidana tanpa korban atau “victimless crime”. Masalah ini sebetulnya berada dalam wilayah “private” atau “civil liberties” yang seharusnya dilindungi oleh negara baik dari “intervensi” masyarakat maupun orang lain. Tindak pidana kesusilaan dalam pasal 284, 285 dan 292 menjadi sangat kontradiksi jika dikaitkan dengan konteks yang berbeda, seperti pada pasal 284 ditafsirkan secara a contrario yaitu penalaran hubungan zina antara perempuan dan laki-laki dianggap benar jika ia tertulis secara sah, yang sah dalam hubungan seksual baik sejenis maupun non sejenis, kedua yaitu problem zina mengandung adanya paksaan apakah sama dengan perbuatan zina jika dilakukan suka sama suka, ketiga adanya aspek kerelaan dalam hubungan seksual. Alhasil jika logika Drafter RUU KUHP sama persis dengan apa yang di Judicial Riview di MK saat ini, maka akan bertambahnya jenis tindak pidana. Selain itu, penafsiran a contrario yang digunakan oleh pemohon JR MK pada pasal 284, 285 dan 292 akan berakibat langsung bertambahnya objek pidana, yaitu Pasal 284 mengatur pernikahan diluar yang sah baik perempuan maupun laki-laki dianggap kejahatan, padahal ini telah diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.  Begitu juga dengan Pasal 285 perkosaan bisa juga dilakukan oleh laki-laki maka termasuk juga jenis kejahatan. Pasal 292 hubungan dewasa sesama jenis juga.

Demakrasi Moral dan Hukum?

Mari mengamati persoalan antara moral dan hukum apakah saling berkaitan atau tidak itu bisa dilihat dari pengamatan Data Kepolisian Daerah Tahun 2011-2013, dimana 10 daerah besar seperti Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung dan Kepulauan Riau menempati posisi banyak angka kejahatan. (BPS, Statistik Kriminal 2014, hlm. 24). Padahal 10 daerah tersebut merupakan basis penerapan peraturan daerah yang bersendikan moralitas dan agama. Artinya ini tidak adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara moral dan tindak kejatahan.

Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan karena itu tujuan akhir dan tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.  Dengan demikian maka politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial). (Barda Nawai Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, h. 5) 

Penerapan hukum pidana yang semula sebagai upaya/cara terakhir (ultimum remedium) menjadi upaya/cara pertama (primum remedium). Pencantuman sanksi pidana dalam undang-undang sebagai primum remedium sejatinya dapat mengakibatkan terlanggarnya hak-hak konstitusional warga Negara Indonesia. Selain itu, pengajuan pengujian undang-undang terkait sanksi pidana semakin bertambah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Titis Anindyajati, Dkk dalam Jurnal Mahkamah Konstitusi, menunjukkan bahwa dari undang-undang yang diundangkan sejak 2003 sampai dengan 2014 memosisikan norma sanksi pidana sebagai primum remedium. Hal ini dapat terlihat pada konstruksi pasal yang memuat sanksi pidana. Padahal dalam konsepsi pemidanaan, sanksi pidana haruslah diposisikan sebagai ultimum remedium. Dalam pada itu, MK sebagai pelindung hak konstitusional warga negara dan pelindung hak asasi manusia memiliki peranan yang sangat penting untuk mengembalikan posisi sanksi pidana sebagai ultimum remedium. (Titis Anindyajati, dkk, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, Desember 2015, h. 87).

Mengacu pada konsep pembaruan KUHP yang didasarkan atas empat tujuan yakni misi dekolonisasi hukum pidana, misi demokratisasi hukum pidana, misi konsolidasi hukum pidana, dan misi adaptasi dan harmonisasi. Tim Penyusun RUU KUHP nampaknya menyadari bahwa misi pembaruan KUHP bukan sekedar dekolonisasi melalui langkah-langkah rekodifikasi kembali hukum pidana materiil. Artinya sistem nilai yang mendasari pentingnya pembaruan KUHP bukan disandarkan pada misi  tunggal untuk meniadakan produk kolonial semata. Perlu ditimbang kembali apakah landasan  pemikiran mengenai produk hukum yang dihasilkan semasa kolonial itu merupakan permasalahan mendasar yang menjadi pertimbangan dalam pembaruan KUHP. Dan yang paling terpenting adalah kapankah negara (Baca: Hukum pidana) bisa menjatuhkan hukuman, atau memperbolehkan orang lain menghukum seseorang yang melakukan pelanggaran secara moral? Mungin saya sepakat dengan Julian Baggini, dalam bukunya “Making Sense”, ketika perbuatan salah tersebut mengakibatkan kerugian yang signifikan dan relevan. (Julian Baggini, Making Sense, Teraju Mizan, h. 58)

“Salam Pecinta Kesederhanaan.

Friday, 22 April 2016

Perjalanan “Keadilan Perempuan” di Hari Kartini


Siapa yang tak kenal Kartini, ia dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang gigih memperjuangkan konsep emansipasi perempuan pada abad 19-an. Ia juga menjadi inspirator dikalangan aktivis kesetaraan gender. Tokoh yang terlahir pada tanggal 21 April 1879 di Kota Jepara ini, kemudian dikukuhkan sebagai Hari Kartini, tak lain untuk menghormati jasa-jasanya sebagai pahlawan bangsa.

Jauh sebelum itu, proses perjuangan panjang Kartini bisa dilihat jelas ketika berusia sekitar 24 tahun, dimana Kartini menuangkan sebagian curahan hati tentang diskriminasi dan protes terhadap budaya patriarki kala itu. Lewat kumpulan nota-nota atau surat tersebut juga menjadi awal mula lahirnya buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” (door duisternis tot licht). Menurut sejarawan Asvi, dua nota yang dikirimkan Kartini kepada Menteri Jajahan, AWF Indenburg dan Gubernur Jenderal Hidia Belanda, Willem Rooseboom, pada tahun 1903. Saat itu menteri Idenburg tengah mempersiapkan undang-undang Pendidikan bagi negeri Jajahan. Kartini diberi pertanyaan seputar pendidikan bagi perempuan Jawa; Tindakan apa yang cocok untuk membuat bangsa Jawa lebih maju dan lebih sejahtera? Ke arah mana pengajaran harus diperbaiki dan diperluas? Jawaban kartini sangat tajam, “orang Belanda suka menertawakan dan mengolok-olok kebodohan bangsa kami, tetapi kalau kami mau belajar mereka menghalang-halangi dan mengambil sikap memusuhi kami…”. (Asvi WA, Menguak Misteri Sejarah, Kompas, 183-185).

Belum lagi curahan hati tentang ketidakadilan keluarganya ketika ia dipingit, dijodohkan dan tidak boleh ikut sekolah kejenjang yang lebih tinggi, menjadi pengalaman pahit rentetan diskriminasi baginya. Seperti yang tergambarkan dalam buku Armijn Pane (penj), Habis Gelap Terbitlah Terang, dikatakan:

Ketika masa sekolah, kartini merasa menjadi seorang yang bebas, ketika sudah berumur 12 tahun tiba-tiba ia dipaksa dipingit (ditutup akses) interaksi. Sahabt-sahabtnya orang belanda, mencari Kartini supaya ia jangan dipingit, tetapi usaha tersebut sia-sia. Orang tua kartini memegang adat memingit dengan teguh, meskipun dalam hal-hal lain sudah maju, bahkan sebenarnya keluarga yang termaju di Pulau Jawa. Empat tahun lamanya kartini tiada diizinkan keluar-keluar. Tetapi, semangat zaman tiada dapat diulangi. Sahabt-sahabat orang erapo tiada berhenti-henti beriktiyar, supaya kartini diberi kemerdekaannya kembali, maka waktu sudah berumur 16 tahun (1895), bolehkan dia melihat dunia luar lagi. Enam bulan kemudian diizinkan pula keluar sekali lagi kemudian dipingit lagi tetapi baru dalam tahun 1889 diberi kemerdekaan dengan officieel, bahkan diizinkan turu bepergian ke luar tempat tinggalnya. Sudah tentu mendapat celaan dari orang banyak. Tetapi kartini belum puas, dia hendak berdiri sendiri, supaya tak usah nikah.”

Cerita di atas memperlihatkan betapa kerasnya arus diskriminasi lahir kala itu. Frame diskriminasi bisa lahir dari sistem maupun sub sosial-budaya-agama. Jika kita melihat lebih dalam, sebetulnya Kartini menginginkan perempuan mendapat perlakuaan yang adil seperti orang Hindia Belanda kala itu, karena baginya, keadilan merupakan tujuan dari perjuangan untuk mencapai segalanya.

Bagaimana dengan Kondisi sekarang?

Menurut data BPS (badan pusat statistik), tercatat pada tahun 2014 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 252 juta jiwa. Dengan sex ratio sebesar 101,01, menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki masih sedikit lebih besar dibanding dengan penduduk perempuan. Komposisi jumlah penduduk laki-laki yang lebih dominan dari perempuan hampir terjadi pada semua kelompok umur, kecuali usia tua yaitu 65 tahun ke atas. Menurutnya juga, jenis kelamin masih sering digunakan sebagai persyaratan dalam pembagian kerja. Laki-laki memiliki kewajiban untuk mencari nafkah dan bekerja, sedangkan perempuan memiliki kewajiban untuk mengurus rumah tangga. Selain itu, laki-laki dianggap memiliki fisik yang kuat yang menyebabkan laki-laki memiliki peluang lebih tinggi untuk mendapatkan kesempatan kerja dibandingkan perempuan. Namun disisi lain, banyak juga jenis pekerjaan yang mensyaratkan dilakukan oleh perempuan karena lebih memerlukan ketelatenan dan ketelitian. Lihat data di bawah ini:
Perbedaan kesempatan kerja tersebut berdampak pada partisipasi tenaga kerja yang tercermin dari angka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Pada tahun 2014 angka TPAK perempuan hanya sekitar 50 persen, sedangkan TPAK laki-laki sudah mencapai sekitar 80 persen. Angka TPAK ini menunjukkan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek ketenagakerjaan. Terlihat bahwa persentase perempuan yang bekerja masih jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Pada tahun 2014, proporsi perempuan yang bekerja sebesar 47,08 persen sedangkan proporsi laki-laki mencapai 78,27 persen. Lihat di bawah ini:
Rendahnya TPAK perempuan dapat dilihat pada kegiatan seminggu yang lalu yang sekaligus menunjukkan adanya stigma pembagian peran laki-laki adalah bekerja dan perempuan adalah mengurus rumah tangga. Pada 2014 diperoleh bahwa selain bekerja, kegiatan lain yang dilakukan perempuan seminggu yang lalu adalah mengurus rumah tangga dengan proporsi hampir 38 persen. Sementara laki-laki yang mengurus rumah tangga hanya sebesar 2 persen. Angka ini yang seolah menjadi pertanda bahwa ketidakadilan perempuan memang masih berjalan hingga kini dan itu seolah terlegitimasi di wilayah warisan budaya (culture heritage) kita. Upaya dekonstruksi menjadi titik poin bagamana seharusnya perempuan mendapat keadilan secara subtantif.

Bagaimana dengan kondisi Perempuan dalam Sub Hukum?

Perjalanan panjang akan perjuangan kesetaraan tidak hanya berakhir pada masa Kartini saja, tetapi hingga saat ini ketidakadilan terhadap akses, manfaat, partisipasi dan kotrol terhadap perempuan masih saja tetap diberlakukan. Contoh kecil ketidak adilan gender bisa dilihat dari peraturan Bupati Purwakarta No. 69 Tahun 2015 Tentang Pendidikan Berkarakter, dimana tertuang secara jelas yaitu:

 Upaya maskulinisasi dan femininimisasi dalam pasal 26 tersebut menjadi jelas bahwa perempuan dan laki-laki diperlakukan secara berbeda. Bupati Purwakarta memahami eksisten “karakter” seperti sesuatu yang harus ditentukan berdasarkan jenis kelamin, bahwa anak laki-laki harus bisa menanam, meramu, bergembala (hunter). Sebaliknya memiliki keterampilan memasak, menenun, menyulam,  harus dimiliki bagi perempuan (gatherer). 

**
Pertanyaanya adalah apakah hanya cukup mengenang hari Kartini 21 April saja sudah cukup menggembirakan bahwa upaya keadilan perempuan bisa didapatkan? Apakah dihari ke-137 tahun lahirnya Kartini hingga kini menjadi pertanda bahwa keadilan dan kesetaraan gender sudah di dapat? Jawabannya jelas “tidak”. Kartini hanya sebatas Kartini, Kartini dulu melawan Hindia Belanda, Kartini dulu melawan domestifikasi keluarga dan adat agama. Perlawanan Kartini dulu hingga sekarang masih tetap berjalan, keadilan bagi perempuan dan laki-laki menjadi harga mati untuk sebuah perjuangan. Data BPS terkait peningkatan ketidakadilan tidak hanya sebatas lip service saja, ia bentuk rentetan perjalan panjang bagaimana Kartini Baru menjelma di tataran sistem, struktur maupun budaya (adat) dalam keadilan maupun kesetaraan. Kartini bukan untuk dikenang, bukan pula upaya seremonial Kementerian/Lembaga ataupun masyarakat, tetapi bagaimana capaian indeks pembangunan perempuan bersamaan dengan indikator keberhasilan keadilan, kesetaraan, non disrkiminasi antara laki-laki dan perempuan. Jika hanya sebatas upaya seremonial ia tak lebihnya seperti manusia yang hobinya bercerita tetapi minim untuk diceritakan (homo festifus). Ia tak ubahnya hanya menjadi penjilat sejarah, ketimbang mengukir peradaban sejarah.

*Salam Pecinta Kesederhanaan