Baru-baru
ini Walikota Banda Aceh lliza Sa’aduddin Djamal menerapkan jam malam bagi
perempuan mulai 4 juni 2015. Dalam Instruksinya dinyatakan, aktivitas
perempuan pekerja pada tempat wisata, rekreasi, hiburan, penyedia layanan
internet, kafe atau sejenisnya, dan sarana olahraga dibatasi hingga pukul 23.00
WIB. Dan untuk aktivitas anak di bawah umur dan perempuan umumnya pada tempat
itu dibatasi hingga pukul 22.00, kecuali bersama keluarga dan/atau suami.
Beberapa alasan mengapa aturan ini diberlakukan? Menurut data yang dilansir
dari beberapa media, pertama tak lain sebagai langkah preventif
terhadap maraknya pelecehan seksual terhadap perempuan di Aceh. Alasan kedua yaitu
berkaitan dengan moralitas. Alasan ketiga kewenangan otonomi khusus
Aceh.
Jika
melihat beberapa alasan di atas, ada beberapa catatan penting yang harus dikaji
ulang bagi stakeholders (terkhusus pemerintahan Aceh)— ketika memberlakukan jam
malam kepada perempuan. Pertama, tujuan pembentukan kebijakan
daerah tersebut. Apakah dengan memberlakukan jam malam aktivitas kekerasan
seksual atau pelecehan seksual akan akan berkurang atau hilang. Alasan ini
sangat terlihat ambigu, karena aktivitas (delik) pelecehan seksual atau
sejenisnya— bukan ditimbulkan oleh pihak perempuan (sebagai korban) tetapi yang
harus dicermati adalah pihak pelaku perbuatan (delik). Selain itu,
kebijakan ini menempatkan sekaligus menstigma perempuan sebagai makhluk pembawa
malapetaka, hal itu jelas merupakan tindakan diskriminasi, yang menjustifikasi
budaya menyalahkan korban (blaming the victim) bila terjadi
kekerasan seksual. Di lain pihak, pemerintah Aceh juga alva bahwa tindakan
kekerasan seksual atau pelecehan seksual bukan saja hanya dilakukan di malam
hari, tetapi juga bisa dilakukan di siang hari, dengan berbagai macam cara dan
modusnya, bahkan kerabat/teman dekatpun sangat berpotensi untuk menjadi pelaku
pelecehan seksual terhadap perempuan.
Catatan
kedua yaitu bagaimanakah dampak yang ditimbulkan akibat
kehadiran serta pelaksanaan kebijakan daerah tentang pelarangan keluar malam
ini. Secara substansial kebijakan baru ini tak berbeda jauh dengan pelaksanaan
kebijakan Perda Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.
Dimana kriminalisasi terhadap perempuan akibat kebijakan tersebut dengan
melakukan penangkapan pada perempuan kelas pekerja. Dalam penuturan mereka,
perempuan-perempuan lain yang mereka kenali dan ikut menjadi korban salah
tangkap adalah juga berasal dari kelas sosial yang sama. (Atas Nama
Otonomi Daerah: 2010, Komnas Perempuan, 39). Sangat naïf pada era
sekarang, jika perempuan hanya melakukan aktivitasnya hanya siang hari. Coba
kita lihat apakah aktivitas perempuan hanya sekedar di sumur, dapur dan kasur?
Tentu saja tidak, para pekerja seperti dokter kondungan, perawat, bidan, programmer,
pramugari, dan lain-lain—merupakan sebuah keniscayaan bahwa perempuan bukan
makhluk untuk dikebiri. Kebijakan ini juga berpotensi untuk mengkriminalkan
kelas pekerja perempuan pada aras menangah (midle class) ke
bawah, tetapi untuk kelas pekerja atas, sama sekali tidak terjama.
Catatan
ketiga, yang perlu diperhatikan oleh stakeholders yaitu
apakah dengan kebijakan baru ini telah diperhatikan oleh Kemendagri untuk
mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan nasional dan daerah berdasarkan
prinsip HAM dan kesetaraan gender sesuai dengan RPJMN. (Buku I, Agenda
Pembangunan Nasional 2015: 2015, Kementrian PPN & Bapennas, 144). Jika
dilihat dari prinsip konstitusional, kebijakan keluar Walikota Banda Aceh
ini jelas melanggar hak-hak konstitusional perempuan, yaitu bertentangan dengan atas
jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil Pasal 28D (1), hak
atas kedudukan dan perlakuan yang sama di depan hukum Pasal 27 (1)
dan 28D (1), atas kebebasan berekspresi Pasal 28E (2), 28I (1), hak untuk
tidak takut berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya Pasal 28G
(1), hak atas rasa aman Pasal 28G (2), hak atas perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif Pasal 281 (2). Selain itu juga bertentangan
dengan UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia.
Perlakuan Spesial atau
Marginalisasi Perempuan
Perlakuan
jam malam dengan mengatasnamakan moralitas serta perlidungan perempuan dari
tindak kejahatan, seharusnya dikaji lebih dalam oleh Pemerintah Aceh, khususnya
Walikota Banda Aceh. Hal itu bukan saja memunculkan sebuah perlindungan, tetapi
sebuah pengkerdilan kebebasan secara bertahap. Alasan perlidungan perempuan bagi
tindakan kejahatan dengan jalan perlakuan istimewa (special treatment) kepada
perempuan memang merupakan sebuah kebaikan tersendiri, hal itu jelas akan
memunculkan prinsip kesetaraan. Namun pelarangan aktivitas jam malam jelas
bukan sebuah tindakan istimewa (special treatment) kepada
perempuan. Karena disadari atau tidak, ini jelas membatasi sebuah aktivitas
kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya. Terlebih untuk berkespresi dan
mengembangkan diri. Dengan mengatasnamakan Perlakuan istimewa kepada perempuan,
sebetulnya secara substansial telah menstigma dan memarginalkan perempuan dalam
kebijakan ini. Indikasi itu terlihat pada arah serta prinsip kesetaraan gender
tidak dihadirkan. Seperti muatan akses perempuan untuk mendapatkan haknya
seperti ekonomi, politik informasi, pendidikan dan lain-lain secara setara
laki-laki. Begitu juga dengan partisipasi, kontrol dan manfaat kepada perempuan
untuk diperlakukan setara, bukan spesial dalam kategorial perlakuan marginal.
*Salam
Pecinta Kesederhanaan