Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Monday, 15 June 2015

Atas Nama Perlakuan Khusus (Special Treatment), Perempuan Dilarang Aktivitas Malam di Banda Aceh


Baru-baru ini Walikota Banda Aceh lliza Sa’aduddin Djamal menerapkan jam malam bagi perempuan mulai 4 juni 2015. Dalam  Instruksinya dinyatakan, aktivitas perempuan pekerja pada tempat wisata, rekreasi, hiburan, penyedia layanan internet, kafe atau sejenisnya, dan sarana olahraga dibatasi hingga pukul 23.00 WIB. Dan untuk aktivitas anak di bawah umur dan perempuan umumnya pada tempat itu dibatasi hingga pukul 22.00, kecuali bersama keluarga dan/atau suami. Beberapa alasan mengapa aturan ini diberlakukan? Menurut data yang dilansir dari beberapa media, pertama tak lain sebagai langkah preventif terhadap maraknya pelecehan seksual terhadap perempuan di Aceh. Alasan kedua yaitu berkaitan dengan moralitas. Alasan ketiga kewenangan otonomi khusus Aceh.
Jika melihat beberapa alasan di atas, ada beberapa catatan penting yang harus dikaji ulang bagi stakeholders (terkhusus pemerintahan Aceh)— ketika memberlakukan jam malam kepada perempuan. Pertama, tujuan pembentukan kebijakan daerah tersebut. Apakah dengan memberlakukan jam malam aktivitas kekerasan seksual atau pelecehan seksual akan akan berkurang atau hilang. Alasan ini sangat terlihat ambigu, karena aktivitas (delik) pelecehan seksual atau sejenisnya— bukan ditimbulkan oleh pihak perempuan (sebagai korban) tetapi yang harus dicermati adalah pihak pelaku perbuatan (delik). Selain itu, kebijakan ini menempatkan sekaligus menstigma perempuan sebagai makhluk pembawa malapetaka, hal itu jelas merupakan tindakan diskriminasi, yang menjustifikasi budaya menyalahkan korban (blaming the victim) bila terjadi kekerasan seksual. Di lain pihak, pemerintah Aceh juga alva bahwa tindakan kekerasan seksual atau pelecehan seksual bukan saja hanya dilakukan di malam hari, tetapi juga bisa dilakukan di siang hari, dengan berbagai macam cara dan modusnya, bahkan kerabat/teman dekatpun sangat berpotensi untuk menjadi pelaku pelecehan seksual terhadap perempuan.
Catatan kedua yaitu bagaimanakah dampak yang ditimbulkan akibat kehadiran serta pelaksanaan kebijakan daerah tentang pelarangan keluar malam ini. Secara substansial kebijakan baru ini tak berbeda jauh dengan pelaksanaan kebijakan Perda Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Dimana kriminalisasi terhadap perempuan akibat kebijakan tersebut dengan melakukan penangkapan pada perempuan kelas pekerja. Dalam penuturan mereka, perempuan-perempuan lain yang mereka kenali dan ikut menjadi korban salah tangkap adalah juga berasal dari kelas sosial yang sama. (Atas Nama Otonomi Daerah: 2010, Komnas Perempuan, 39). Sangat naïf pada era sekarang, jika perempuan hanya melakukan aktivitasnya hanya siang hari. Coba kita lihat apakah aktivitas perempuan hanya sekedar di sumur, dapur dan kasur? Tentu saja tidak, para pekerja seperti dokter kondungan, perawat, bidan, programmer, pramugari, dan lain-lain—merupakan sebuah keniscayaan bahwa perempuan bukan makhluk untuk dikebiri. Kebijakan ini juga berpotensi untuk mengkriminalkan kelas pekerja perempuan pada aras menangah (midle class) ke bawah, tetapi untuk kelas pekerja atas, sama sekali tidak terjama.
Catatan ketiga, yang perlu diperhatikan oleh stakeholders yaitu apakah dengan kebijakan baru ini telah diperhatikan oleh Kemendagri untuk mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan nasional dan daerah berdasarkan prinsip HAM dan kesetaraan gender sesuai dengan RPJMN. (Buku I, Agenda Pembangunan Nasional 2015: 2015, Kementrian PPN & Bapennas, 144). Jika dilihat dari prinsip konstitusional, kebijakan keluar Walikota Banda Aceh ini jelas melanggar hak-hak konstitusional perempuan, yaitu bertentangan dengan atas jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil Pasal 28D (1), hak atas kedudukan dan perlakuan yang sama di depan hukum Pasal 27 (1) dan 28D (1), atas kebebasan berekspresi Pasal 28E (2), 28I (1), hak untuk tidak takut berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya Pasal 28G (1), hak atas rasa aman Pasal 28G (2), hak atas perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif Pasal 281 (2). Selain itu juga bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Perlakuan Spesial atau Marginalisasi Perempuan
Perlakuan jam malam dengan mengatasnamakan moralitas serta perlidungan perempuan dari tindak kejahatan, seharusnya dikaji lebih dalam oleh Pemerintah Aceh, khususnya Walikota Banda Aceh. Hal itu bukan saja memunculkan sebuah perlindungan, tetapi sebuah pengkerdilan kebebasan secara bertahap. Alasan perlidungan perempuan bagi tindakan kejahatan dengan jalan perlakuan istimewa (special treatment) kepada perempuan memang merupakan sebuah kebaikan tersendiri, hal itu jelas akan memunculkan prinsip kesetaraan. Namun pelarangan aktivitas jam malam jelas bukan sebuah tindakan istimewa (special treatment) kepada perempuan. Karena disadari atau tidak, ini jelas membatasi sebuah aktivitas kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya. Terlebih untuk berkespresi dan mengembangkan diri. Dengan mengatasnamakan Perlakuan istimewa kepada perempuan, sebetulnya secara substansial telah menstigma dan memarginalkan perempuan dalam kebijakan ini. Indikasi itu terlihat pada arah serta prinsip kesetaraan gender tidak dihadirkan. Seperti muatan akses perempuan untuk mendapatkan haknya seperti ekonomi, politik informasi, pendidikan dan lain-lain secara setara laki-laki. Begitu juga dengan partisipasi, kontrol dan manfaat kepada perempuan untuk diperlakukan setara, bukan spesial dalam kategorial perlakuan marginal.

*Salam Pecinta Kesederhanaan