Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Thursday, 25 July 2013

Relevansi Peristiwa Nuzulul Qur’an dengan Memaknai Eksistensi Tuhan

Hiruk pikuk dunia modern seakan merubah pola pikir manusia yang bercirikan sifat ke-Tuhanan (shifah lahut) menuju alam kebinatangan (alam nassut). Disadari atau tidak, dunia modern telah menggeser paradigma kita dalam ber-Tuhan. Gambaran tersebut bisa dirasakan dalam kompleksitas antara science, business dan teknologi sedang menjajaki spiritualitas manusia dalam kesadaran palsunya sebagai manusia yang bertuhan (homo religious). Ekonomis, Stylis, Pragmatis, dan sebagainya merupakan simbol anak modern dalam menjama manusia. Yang pada akhirnya kita kehilangan makna manusia itu sendiri.

Dalam sejarah pemikiran manusia, seperti ditegaskan oleh Karen Armstrong, sejak mula pertama umat manusia sudah mampu me nangkap tentang adanya satu kekuatan yang mengatasi dan Maha Kuat,[1] namun satu kekuatan tersebut terjaring oleh bingkai-bingkai modernitas pemahaman tentang Tuhan yang dibatasi oleh materialitas. Alhasil kejumudan dalam menemukan sesuatu yang benar (baca: Tuhan) terkikis oleh episteme spekulatif. Beragam cara mencari sesuatu yang Maha benar pun telah dilakukan sebelum agama samawi (baca: Yahudi, Kristen, Islam) hadir secara instutisional. Mereka yang menamakan dirinya sebagai “Sofis” seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Epikurus, Phytagoras, Sokrates, Plato, Aristoteles, dan sederet nama yang telah berkotribusi dalam pembuatan metode dalam memahami Sang Maha Absolut (Tuhan). Bahkan pasca agama telah melembaga pun tradisi memahami sesuatu yang benar menjadi konsen khusus oleh para pemikir, salah satunya dari mereka adalah Ibn Sina, al-Farabi, al-Ghazali, al-Miskawih dan banyak lagi yang lainnya.

Berikut ini merupakan alat serta metodelogi menemukan sebuah kebenaran agama dengan beragam tekanannya masing-masing. Pertama ragam episteme empiris—menemukan kebenaran dalam bentuk materialis yang bisa dispesifikasi dalam penalaran indrawi atau pengalaman empirisme seseorang. Batasan metode ini secara sederhana bisa menggunakan perangkat alat indra kita dalam menentukan sebuah kebenaran. Kedua ragam epistem rasionalis— yang titik tekanannya menggunakan silogisme (kesimpulan) berdasarkan akal budi manusia ketika berhadapan dengan objek yang diterka baik rasionalis analitik maupun sintetik. Terakhir adalah ragam epistem yang titik tekanannya berdasarkan hati nurani esoteris.

Bukan untuk menyederhanakan Ragam episteme di atas—tetapi ragam episteme di atas menjadi sangat problematis ketika keberadaan agama yang telah melembaga berhadapan langsung dengan episteme lain. Seperti yang dilansir dalam bukunya A. Marconi, Bagaimana Alam Semesta Diciptakan, di sana dijelaskan bahwa  perpindahan ragam episteme seseorang dari logis-indrawi ke daerah logis spekulatif merupakan suatu lompatan alternatif[2] apabila perangkat indra (empirisme) tak sanggup lagi memahami Tuhan. Namun dalam situasi demikian pula seseorang akan  menghadapi tembok atau tirai kebenaran tunggal dan mutlak, yang dirasakan (diindranya) dibatasi oleh apa yang diindra dengan mengesampingkan akal budi, begitu juga kaum rasionalis akan mengesampingkan secara perlahan pada epistem indra, ditambah pula pengetahuan esoterisme yang terlihat merupakan bentuk apologetic terhadap kekecewaan dua bentuk epistem di atas, pada akhirnya keniscayaan relativis gnosis dengan tidak beragama (agnotis) menjadi sangat memungkinkan di sini.

Lihat saja seperti yang dirasakan oleh sebagian kalangan—dalam melihat ada atau tidaknya “Yang Maha Absolut”, menurut mereka hal tersebut menjadi sangat problematis, misalnya saja gerakan Deisme, Faith without religion atau New Age— bahkan menurut Purwanto mereka hadir dalam kekecewaan akan macam agama yang melembaga (instusional) namun percaya akan adanya yang maha Esa, sehingga mereka menolak untuk memeluk agama manapun.[3] Ini adalah sikap skiptik yang hadir kembali dalam memaknai Tuhan yang melembaga.

Di atas merupakan suatu kegelisahan akan memaknai eksistensi Tuhan di era modern oleh sebagian kalangan. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian penganut ketika berhadapan dengan ajarannya masing-masing. Dan harus di ingat dewasa ini terdapat banyak para ahli yang mencoba kembali membaca teks agama dengan diverifikasi oleh science begitu pula sebaliknya. Namun jika kita melihat kebelakang ada tradisi epistem—yang tertinggal untuk dikejewantahkan dalam memahami Tuhan era sekarang. Tradisi turun temurun tersebut adalah “Membaca Alam Semesta” dengan cara berkhalwat. Khalwat merupakan cara pengasingan diri dari beragam epistem untuk memaknai eksistensi Tuhan.

Dalam sejarahnya, pengasingan diri atau khalwat yang dilakukan oleh sebagian cendikiawan Arab merupakan buah tradisi dari gerakan al-Hanafiyyah. Gerakan Hanafiyah ini dirasa sebagai gerakan yang tidak tercampur dari gerakan yang marak terjadi waktu itu, seperti pemujaan beragam berhala, praktek riba merajalela, penghalalan arak, zina dan sebagainya.[4] Sebelum Islam datang, peradaban Arab kala itu sangatlah konservatif, fatanatis, nomaden serta glamoris bahkan sangatlah kapitalis. Lihat saja praktek teologi maupun hukum yang digunakan kala itu merupakan sindikat perangkat ajaran yang serba pragmatis.

Tradisi Khalwat atau pengasingan diri Zaman Arab ini ternyata dilakukan pula oleh seorang Pemuka agama sekaligus Rasul di antara para nabi yaitu Muhammad Saw. Bisa dicek dengan riwayat Bukhari dalam juz pertama yang menjelaskan bahwa Nabi sering melakukan khalwat di Gua Hira dan disanalah Beliau bertahanuts.[5] Nabi Muhammad ketika menemukan sesuatu yang benar dengan “Khalwat” (mengasingkan diri). Secara historis pristiwa Nabi Muhammad mendapatkan Wahyu merupakan sebuah prestasi besar dalam tahun-tahun berikutnya, terbukti dengan beragam komentar dalam perjalanan hidupnya untuk mendapatkan sesuatu Yang Maha Benar. Pristiwa tersebut dinamakan dengan Malam Kemuliaan atau Keagungan (Lailatul Qodar).[6]

Lailatul Qodar dinamakan pula sebagai “Malam Kemuliaan” atau “Keagungan” karena malam tersebut merupakan malam diturunkannya kitab suci yaitu al-Qur’an.[7] Malam tersebut juga meruapakan suatu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan.[8]Dalam (studi Qur’an) Ulumul Qur’an—pristiwa besar ini (nuzul al-Qur’an) tepat terjadinya pristiwa tersebut terdapat banyak pendapat. Namun Ibn ‘Abbas dan Jumhur cendikiawan sepakat kejadian tersebut terjadi bertepatan dengan bulan Ramadhan, dimana Nabi bertahannuts di gua Hira sekaligus menerima wahyu berupa surat al-‘Allaq: ayat 1-5. Ringkasnya nuzulul qur’an merupakan sejarah pertama kali diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk kebenaran sekaligus hidayah bagi seluruh umat manusia. Dan pristiwa tersebut menurut Ibnu ‘Abbas dan Jumhur mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an secara utuh sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia. Kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada Nabi Muhammad- tersebut secara berangsur-angsur selama 23 tahun.[9]

Ada yang terpenting dalam sejarah diturunkannya al-Qur’an kepada Muhammad yang hingga kita masih relevan dengan perdebatan sengit mengenai ragam epistem dasar beragama, yaitu bahwa proses mendapatkan kebenaran melalui metodelogi khalwat (pengasingan diri) di Gua Hira dan yang kedua adalah substansi dari surat al-‘Allaq: ayat 1 sampai 5. Selain Ragam episteme di atas, ternyata ada ragam episteme agama yang harus di alami oleh manusia selain metode empirism maupun rasional-analitis, yaitu khalwat. Keberadaan khalwat merupakan jembatan untuk merenungi episteme rasionalitas berhadapan dengan empiris dalam memahami yang maha benar. Karena pada saat yang sama, dua model episteme dalam bangunan di atas merupakan jembatan jurang pemisah dalam memahami agama, sebab seperti yang dijelaskan di atas bahwa rasionalisme lebih menekankan analisis kompleks akal sedangkan empirisme lebih mengandalkan tingkatan pengetahuan dari indrawi.

Kedua hal itu tersebut tak-akan bersekutu manakala proses penyatuannya tanpa melibatkan “cara Khalwat” (pengasingan diri), sebab dari sanalah kita bisa melepaskan seluruh pengetahuan yang dapat dari rasionalitas kesimpulan—maupun empiris pengetahuan. Ketika proses khalwat dilakukan secara bersamaan, maka proses verifikasi hasil perenungan atau pengasingan akan diuji kembali, yaitu dengan cara Membaca alam semesta dengan mempergunakan seluruh alat yang kita punyai. Hal ini menjadi dasar bahwa kerangka berifikir kita yang selalu menghasilkan keraguan dalam beberapa hal. Oleh sebab itu selain Muhammad melakukan khalwat tetapi beliau pula dibekali oleh Tuhan dengan disuruh “Membaca alam semesta”, kenapa karena pada waktu itu nabi sebagai seorang yang Ummii (tak bisa baca maupun menulis) maka seyogyanya Tuhan menyuruh nabi untuk menemukan kebesaran dan kebenaran-Nya adalah dengan cara membaca alam semesta. Kenapa objek yang dibaca yaitu alam semesta bukan al-Qur’an, karena pada waktu itu al-Qur’an belum diturunkan sekaligus ke dunia serta belum dibukukan (kodifikasi), jadi alam semesta menjadi objek penelitian Nabi untuk ditelaah lebih lanjut. Surat al-‘Allaq ayat 1-5 juga  memberikan gambaran kepada kita  selain membaca alam semesta sekaligus merenungkan alam semesta lewat science maupun teknologi pendukung lain. Dan yang kedua memaknai sejumlah proses penciptaan alam semesta akan memunculkan suatu kebenaran, dan terakhir makna dari surat al-‘Allaq yang diturunkan pada malam nuzulul qur’an yaitu Tuhan akan mengajarkan kepada manusia melalui beragam peralatan baik membaca maupun menulis untuk mengetahui hakikatnya.





[1] Komarudiin Hidayat dan M. Wahyudi N, Agama Masa Depan, (Jakarta: Grammedia Pustaka Utama, 2003), hal. 84
[2]A. Marconi, Bagaimana Alam Semesta Diciptakan, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2003), hal. XV
[3] Purwanto Abd al-Ghaffar, Tuhan Yang Menentramkan Bukan Yang Menggelisahkan, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 18
[4] Khalil Abdul Karim, Syari’ah: sejarah perkelahian pemaknaan, (Yogyakarta: LKIS, 2003), hal. 15-17
[5] Lihat lebih lengkap redaksi haditsnya dalam kitab Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukharii, (al-Azhar: Daar al-Bayan al-‘Arabi, 1426 H/2005), Juz I, hal. 4. Lihat pula Khalil Abdul Karim, Syari’ah: sejarah perkelahian pemaknaan, (Yogyakarta: LKIS, 2003), hal. 8

[6] Mahmud Syaltut, al-Fatawa, (tp: Daar al-Qolam. Th), hal.  154
[7] QS. Al-Baqarah: 185
[8] QS. Al-Qodar: 3
[9] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fii Ulum al-Qur’an, edisi terjemahan Drs. Mudzakir, (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, 1996), hal. 151

Friday, 12 July 2013

Mengembangkan Potensi Pemimpin Islami Jilid I

Oleh Muhamad Daerobi

Dilema berkepanjangan abad millennium kedua adalah tantangan modernitas serta praktek keislaman salafi yang bersinggungan. Di mana modernitas menghendaki manusia yang serba instan, oportunis, rasional, cepat, dinamis, hemat dan sebagainya—dalam mencapai sebuah tujuan hidup. Modernitas menjadi obat ampuh bagi sebagian kalangan ketika berhadapan dengan rivalnya. Disadari atau tidak praktek keagamaan mulai sedikit terhambat manakala hamparan peradaban modern menjadi obat mujarab manusia instan, akibatnya beberapa hal terjadi semakin tak terduga, seperti gejala stress meningkat tajam, kehilangan jati diri, aleanasi (keterasingan) eksistensi manusia, serta gelaja individualitas semakin menjadi. Ajaran Islam pun mulai terabaikan sedikit demi sedikit, seperti halnya mencari figur pemimpin Islami menjadi sesuatu yang sangat langka di abad modern ini. Kecamuk modernitas menjadi bahan perbincangan di tempat-tempat dan tak pernah terpikirkan bagaimana menyelesaikan modernitas ketika berhadapan dengan ajaran Islam, bukan saling meyalahkan antar sesama manakala krisis kepemimpinan terjadi begitu besar di beberapa negeri kita. Begitu pula bukan saling menghujat ketika modernitas menjadi obat mujarab para generasi muda-mudi yang jauh dari nilai-nilai islami.
Membicarakan modernitas dan ajaran Islam sekilas terlihat ambiguitas, namun terlepas dari itu semua ada beberapa pandangan ketika modernitas diletakan bersamaan dengan ajaran Islam. Pandangan pertama diwakili oleh golongan tasyaddud terhadap zaman. Golongan ini beranggapan bahwa nilai-nilai modernitas menjadi sebuah nilai yang tidak cocok dalam Islam, sebab modernitas menghendaki manusia serba instan, alhasil mereka lebih memilih pelarangan mode maupun style modern ketika dikonversi ke dalam ajaran Islam. Golongan kedua yaitu golongan tajaddid, yaitu golongan yang menghendaki manusia untuk menjadi modern dalam segala hal—baik pemikiran maupun praktek keagamaan dalam Islam secara menyeluruh. Golongan ketiga adalah golongan tawasuth, yaitu sebuah golongan yang menghendaki manusia ketika bersinggungan antara agama dan modernitas diletakan secara bersamaan dengan mengkonversi substansi modernitas ke dalam wilayah asas-asas islami, jadi yang menjadi titik tolak teropong yaitu ajaran islam menerawang dimensi modernitas.
Di atas merupakan potret kecil pandangan antara modernitas dan ajaran Islam diletakan secara bersamaan. Penulis merasa perlu menggambarkan hal tersebut di atas karena itulah sekelumit sikap para pemikir ketika memperbincangkan tema tersebut. Namun perlu ditekankan pula hal tersebut bukanlah penyederhanaan perdebatan tetapi yang ingin ditekankan oleh penulis yaitu kondisi modernitas dan bentuk pemimpin islami seolah sulit didapat di era modern ini, padahal hal tersebut merupakan dua tema yang harus dipecahkan secara bersamaan bukan saling meniadakan. Pemimpin Islami menjadi sesuatu yang sangat sulit didapat hingga beberapa prasyarat kualifikasi pemimpin dalam Islam meski diikurangi. Menurut penulis ini merupakan sesuatu yang sangat miris ketika kualifikasi kepemimpinan islami dibatasi oleh modernitas. Seperti yang dikutip dalam bukunya Thariq Muhammad bahwa kepemimpinan merupakan salah satu masalah penting yang hilang dari umat kita saat ini. Lebih lanjut menurutnya, kita sekarang hidup dalam krisis yang membuat kita kehilangan tujuan hidup (maqaashid al-hayat), kehilangan langkah-langkah pasti dalam kehidupan serta kehilangan logika sehat[1] kita untuk melaju ke depan menjadi seorang pemimpin.
Sesunguhnya masalah kepemimpinan adalah masalah umat, oleh sebab itu tak dipungkiri ketika ijtihad Thariq Muhammad mewajibkan untuk memikirkannya serta bangkit dari persoalan keterpurukan ini.[2] Ada benarnya ketika syair Arab yang dilansir oleh Thariq Ali yang berbunyi: “al-Islam Mahjubun Bi al-Muslimin”. Maksudnya umat Islam akan hancur oleh kaki-tangan umat Muslim sendiri. Lihat saja mulai dari pola pikir kita yang bergeser pada sikap acuh tak acuh, ditambah pula sikap kita yang mulai tidak peduli sesama manusia, nada bicara kita yang kian hari menjadi pengikut zaman modern dan ditambah pula akhlak kita yang menjadi-jadi pada manusia yang tak berguna. Siapa yang harus disalahkan ketika terjadi guncangan bencana di mana-mana, siapa yang harus bertanggung jawab ketika moral umat manusia menjadi tak terarah.
Hari ini mulailah lupakan sikap saling menyalahkan, menghujat, memaki orang lain, karena semua itulah awal pangkal keterpurukan umat ini. Mulailah berpikir bagaimana mencari solusinya sedikit demi sedikit, apapun kontribusinya yang terpenting mulailah sadar pada diri kita sendiri bahwa kita semua sedang ditimpa krisis multi disiplin baik disintegritas-agama dan Negara, terlebih adalah mencari sosok pemimpin Islami. Setiap manusia secara fitrahnya mempunyai kapasitas serta potensi diri yang berbeda-beda,[3] oleh sebab itu perlu kiranya dalam mengupayakan potensi tersebut membedah apa yang menjadi kendala setiap potensi manusia itu terhalang. Beberapa indikator disebutkan oleh para pemikir ketika melihat potensi manusia terhalang, ada tiga point penting yang menghambat potensi manusia yaitu kesadaran manusia yang hilang, sistem yang kurang tepat dan struktur yang tidak berfungsi. Semua itu berawal dari kepicikan akal kita, kemiskinan akal kita dan keterbelakangan pola akal kita yang memang tidak memahami substansi ajaran Islam.
Menanggapi itu semua penulis akan menjelaskan satu persatu rincian dari tiga poin penting penghambat potensi kepemimpinan. Pertama kesadaran manusia yang hilang yaitu maksudnya adalah manusia secara naluri telah disadarkan oleh Allah SWT, banyak bukti Tuhan menyadarkan manusia kepada kita mulai niat kita sampai laku kita seringkali disindir dalam al-Qur’an dengan sindiran “afala ta’qilun” (apakah kamu tidak berpikir), “faf’alu ma tu’marun” (lakukanlah apa yang telah diperintahkan), afala yubshiruun (apakah mereka tidak melihatnya), dan banyak lagi redaksi sindiran Allah kepada manusia untuk selalu sadar akan jati dirinya sebagai hamba Allah (Abdullah) maupun sebagai Khalifatullah (Pemimpin Di Muka bumi).[4] Kesadaran manusia merupakan sesuatu yang fundamental dalam hidup ini karena ia merupakan pembuka segala hal menuju kebaikan, begitu pula dalam mengembangkan potensi kepemimpinan, Rasulullah telah beramanat kepada umatnya bahwa setiap manusia merupakan pemimpin dalam segala hal, baik dalam wilayah personal atau diri sendiri, keluarga, organisasi, masyarakat, agama maupun Negara sekalipun untuk selalu sadar akan jati dirinya sebagai manusia pemimpin. Kesadaran akan didapat manakala pertanyaan-pertanyaan seperti di bawah ini telah kita pikirkan dan aplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.
1.      Siapa kita ini?
2.      Untuk apa kita diciptakan di muka bumi ini?
3.      Apakah kita penting dalam mengarungi hidup ini?
4.      Pernahkah kita berkontribusi sebagai manusia untuk menjaga serta menciptakan kita, keluarga, masyarakat sekitar menjadi pribadi yang muslim?
5.   Pernahkah kita berprestasi sebagai manusia untuk menjaga serta menciptakan kita, keluarga, masyarakat sekitar menjadi pribadi yang muslim?
6.  Pernahkah kita bergembira ketika kontrbusi dan prestasi kita telah menghantarkan manusia menjadi pribad yang muslim?
Pertanyaan di atas merupakan rangkuman kecil agar kita selalu sadar diri sebagai hamba dan khalifah Allah. Sekarang bukan lagi saatnya untuk berdebat siapa yang salah atau yang benar tetapi mulailah sadar bahwa kita adalah manusia individu sekaligus manusia sosial dalam mengarungi serta menegakan ajaran-ajaran yang telah dituliskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Apakah kita hanya melihat ajaran-ajaran saja dengan cara mengaji dan mengkajinya? Tidak tetapi lebih dari itu.
Kedua adalah sistem yang kurang tepat. Sering kali kita memaksakan logika picik kita yang sok cerdas, pintar dalam memecahkan masalah—akibatnya seringkali kita bahwa Musyawarah merupakan jalan untuk memecahkan masalah, bukan egoism diri kita yang telah berumur tuan ataupun telah sarjana tetapi hasil musyawarah itulah yang harus kita perhatikan dan laksanakan dalam beroganisasi maupun ketika memimpin masyarakat. Seperti halnya ketika ide kita dilontarkan untuk membuat sistem berorganisasi yang baik dalam musyawarah, namun kita malah berbalik arah bahwa sistem tersebut merupakan sebuah sistem yang memang jelas-jelas buruk untuk dilaksanakan ketika hasil musyawarah menolak hal tersebut. Alhasil disamping kita mengkritisi sistem yang buruk tetapi bukan hanya mengkritisi saja, tetapi harus menawarkan beberapa konsep sistem yang memang harus dimusyawarahkan dan itu bisa laksanakan. Jangan sampai ketika sistem yang kurang tepat kemudian terus berlanjut dan berlanjut sampai tak ada gantinya.
Terakhir adalah struktur yang tidak berfungsi. Betapa sering kita menyalahkan orang lain yang telah berbuat sepele kemudian merembet keberbagai persoalan yang lainnya. Pada akhirnya struktur menjadi korban dari segelintir orang yang tidak berfungsi. Oleh sebab itu ketika struktur terlihat tidak berfungsi disinilah peran setiap orang untuk selalu mengingatkan serta memotivasinya untuk tidak saling mengandalkan bahwa dia lebih tinggi derajat organisatorisnya. Diperlukan kreativitas berpikir serta kelegowoan hati untuk menyelesaikan manakala melihat struktur mulai tidak berfungsi lagi.
Bukankah Islam bila dilihat dari berbagai aspek menghendaki perubahan masyarakat demi tujuan duniawi maupun ukrawi. Islam telah mengajarkan kepada kita berbagai macam komprehensif ajarannya baik berorganisasi, keluarga, politik, sosial, berekonomi maupun bernegara untuk diaplikasikannya ajaran-ajaran Islam, bukan hanya dibaca  dan dibaca oleh kita. Misalnya saja Imam Ghazali, Rashid Ridha, Hasan al-Bana dan al-Maudhudi bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang paling lengkap.[5] Tetapi yang perlu disadari adalah apakah kita sendiri hendak menghancurkannya ataukah membangunnya. Konsep dalam al-Qur’an, Hadits, Ijma maupun Hasil Qiyas (pendapat Ulama) terlalu indah jika hanya  kenang dan dibaca, oleh sebab itu apakah dia (ajaran Islam) hanya sebatas konsep saja ataukah sebaliknya, apakah kita hanya berdiam diri dengan melihat kehancuran demi kehancuran pada masyarakat kita atau sebaliknya. Itu semua tergantung pada diri kita masing-masing.  Amanat allah kepada manusia dalam surat ar-Ra’d ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.  Mulailah mengembangkan diri, memberi contoh, memotivasi diri untuk menjadi pemimpin sesungguhnya. 
Setelah merenungi beberapa permasalahan serta tanggapan di atas, maka mulailah sedini mungkin untuk menyadari hal itu semua, beranjak dari fenomena keterpurukan menuju kebangkitan bukan hanya sebatas romantisme peradaban saja—lebih dari itu. Frank Peppers dalam bukunya telah mengingatkan kita untuk menjadi seorang yang kreatif serta merumuskan hal-hal yang terlihat tidak jelas (absurd) menjadi jelas apa yang harus dilakukan oleh kita, yaitu Apa yang seharusnya kita lakukan hari ini ketika melihat persamalahan tersebut? Kemudian bagaimana kita melakukan perwujudan tersebut? Dan yang ketiga Kpan kita harus memulainya?.[6]
Untuk mengakhiri pembahasan ini yang terpenting adalah meneladani sikap akhlak Rasulullah untuk menjadi pemimpin Islami sejati yang tak punya harta (bukan berarti dilarang kaya) dan berpengaruh kepada seluruh dunia oleh-Nya.[7] Sebuah riwayat ulama dapat menjadi renungan kita sehari-hari agar menjadi seorang pemimpin sesungguhnya baik dalam kapasitas individu maupun social-keagamaan:

“Jadilah seorang yang alim (ahli ilmu) atau Pengajar ilmu atau Pendengar Ilmu atau Pecinta Ilmu dan janganlah menjadi yang kelima—maka celakalah dia.”
Pernyataan di atas merupakan buah peringatan kepada kita agar selalu beraktivitas dengan kapasitas keilmuan, sebab jika tidak kita akan menjadi orang yang kelima dari pendapat ulama di atas yaitu orang yang tidak masuk dalam kriterium orang berilmu, pengajar, pendengar maupun pencinta. Seperti penghujat, pembenci, perusak dan bentuk kezoliman yang lainnya.








[1] Thariq Muhammad, Sukses Menjadi Pemimpin Islami, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2005), hal. 15

[2] Thariq Muhammad, ________, hal. 15
[3] Kapasitas potensi tersebut bisa teratualisasi jika structural maupun aktoral berfungsi, lihat M. Daerobi, Menelusuri Akak-Akar Kekerasan Dikalangan Pelajar.  Diakses dari: http://diskursusidea.blogspot.com/2013/06/menelusuri-akar-akar.html. pada 10 Juli 2013 Pukul 19.14 WIB.
[4] Rachmat Ramadhana al-Banjari, Prophetic Leadership, (Yogyakarta: Diva Press, 2008), hal. 21
[5] J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: PT. RajaGrafndo Persada, 2002), hal. 1

[6] Frank Peppers, Thumb Up!, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), hal. 27
[7] M Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal. 21