Oleh Muhamad Daerobi
Dilema berkepanjangan abad
millennium kedua adalah tantangan modernitas serta praktek keislaman salafi
yang bersinggungan. Di mana modernitas menghendaki manusia yang serba instan, oportunis,
rasional, cepat, dinamis, hemat dan sebagainya—dalam mencapai sebuah tujuan
hidup. Modernitas menjadi obat ampuh bagi sebagian kalangan ketika berhadapan
dengan rivalnya. Disadari atau tidak praktek keagamaan mulai sedikit terhambat
manakala hamparan peradaban modern menjadi obat mujarab manusia instan,
akibatnya beberapa hal terjadi semakin tak terduga, seperti gejala stress
meningkat tajam, kehilangan jati diri, aleanasi (keterasingan) eksistensi
manusia, serta gelaja individualitas semakin menjadi. Ajaran Islam pun mulai
terabaikan sedikit demi sedikit, seperti halnya mencari figur pemimpin Islami
menjadi sesuatu yang sangat langka di abad modern ini. Kecamuk modernitas
menjadi bahan perbincangan di tempat-tempat dan tak pernah terpikirkan
bagaimana menyelesaikan modernitas ketika berhadapan dengan ajaran Islam, bukan
saling meyalahkan antar sesama manakala krisis kepemimpinan terjadi begitu
besar di beberapa negeri kita. Begitu pula bukan saling menghujat ketika
modernitas menjadi obat mujarab para generasi muda-mudi yang jauh dari
nilai-nilai islami.
Membicarakan modernitas dan
ajaran Islam sekilas terlihat ambiguitas, namun terlepas dari itu semua ada
beberapa pandangan ketika modernitas diletakan bersamaan dengan ajaran Islam.
Pandangan pertama diwakili oleh golongan tasyaddud terhadap
zaman. Golongan ini beranggapan bahwa nilai-nilai modernitas menjadi sebuah
nilai yang tidak cocok dalam Islam, sebab modernitas menghendaki manusia serba
instan, alhasil mereka lebih memilih pelarangan mode maupun style modern ketika
dikonversi ke dalam ajaran Islam. Golongan kedua yaitu golongan tajaddid,
yaitu golongan yang menghendaki manusia untuk menjadi modern dalam segala hal—baik
pemikiran maupun praktek keagamaan dalam Islam secara menyeluruh. Golongan
ketiga adalah golongan tawasuth, yaitu sebuah golongan yang
menghendaki manusia ketika bersinggungan antara agama dan modernitas diletakan
secara bersamaan dengan mengkonversi substansi modernitas ke dalam wilayah
asas-asas islami, jadi yang menjadi titik tolak teropong yaitu ajaran islam
menerawang dimensi modernitas.
Di atas merupakan potret
kecil pandangan antara modernitas dan ajaran Islam diletakan secara bersamaan.
Penulis merasa perlu menggambarkan hal tersebut di atas karena itulah sekelumit
sikap para pemikir ketika memperbincangkan tema tersebut. Namun perlu
ditekankan pula hal tersebut bukanlah penyederhanaan perdebatan tetapi yang
ingin ditekankan oleh penulis yaitu kondisi modernitas dan bentuk pemimpin
islami seolah sulit didapat di era modern ini, padahal hal tersebut merupakan
dua tema yang harus dipecahkan secara bersamaan bukan saling meniadakan. Pemimpin
Islami menjadi sesuatu yang sangat sulit didapat hingga beberapa prasyarat
kualifikasi pemimpin dalam Islam meski diikurangi. Menurut penulis ini
merupakan sesuatu yang sangat miris ketika kualifikasi kepemimpinan islami
dibatasi oleh modernitas. Seperti yang dikutip dalam bukunya Thariq Muhammad
bahwa kepemimpinan merupakan salah satu masalah penting yang hilang dari umat
kita saat ini. Lebih lanjut menurutnya, kita sekarang hidup dalam krisis yang
membuat kita kehilangan tujuan hidup (maqaashid al-hayat), kehilangan
langkah-langkah pasti dalam kehidupan serta kehilangan logika sehat
kita untuk melaju ke depan menjadi seorang pemimpin.
Sesunguhnya masalah
kepemimpinan adalah masalah umat, oleh sebab itu tak dipungkiri ketika ijtihad Thariq
Muhammad mewajibkan untuk memikirkannya serta bangkit dari persoalan
keterpurukan ini. Ada benarnya ketika syair
Arab yang dilansir oleh Thariq Ali yang berbunyi: “al-Islam Mahjubun Bi
al-Muslimin”. Maksudnya umat Islam akan hancur oleh kaki-tangan umat
Muslim sendiri. Lihat saja mulai dari pola pikir kita yang bergeser pada sikap
acuh tak acuh, ditambah pula sikap kita yang mulai tidak peduli sesama manusia,
nada bicara kita yang kian hari menjadi pengikut zaman modern dan ditambah pula
akhlak kita yang menjadi-jadi pada manusia yang tak berguna. Siapa yang harus
disalahkan ketika terjadi guncangan bencana di mana-mana, siapa yang harus
bertanggung jawab ketika moral umat manusia menjadi tak terarah.
Hari ini mulailah lupakan
sikap saling menyalahkan, menghujat, memaki orang lain, karena semua itulah
awal pangkal keterpurukan umat ini. Mulailah berpikir bagaimana mencari
solusinya sedikit demi sedikit, apapun kontribusinya yang terpenting mulailah
sadar pada diri kita sendiri bahwa kita semua sedang ditimpa krisis multi disiplin
baik disintegritas-agama dan Negara, terlebih adalah mencari sosok pemimpin Islami.
Setiap manusia secara fitrahnya mempunyai kapasitas serta potensi diri yang
berbeda-beda, oleh sebab itu perlu
kiranya dalam mengupayakan potensi tersebut membedah apa yang menjadi kendala
setiap potensi manusia itu terhalang. Beberapa indikator disebutkan oleh para
pemikir ketika melihat potensi manusia terhalang, ada tiga point penting yang menghambat
potensi manusia yaitu kesadaran manusia yang hilang, sistem yang
kurang tepat dan struktur yang tidak berfungsi. Semua itu berawal
dari kepicikan akal kita, kemiskinan akal kita dan keterbelakangan pola akal
kita yang memang tidak memahami substansi ajaran Islam.
Menanggapi itu semua penulis
akan menjelaskan satu persatu rincian dari tiga poin penting penghambat potensi
kepemimpinan. Pertama kesadaran manusia yang hilang yaitu maksudnya
adalah manusia secara naluri telah disadarkan oleh Allah SWT, banyak bukti
Tuhan menyadarkan manusia kepada kita mulai niat kita sampai laku kita
seringkali disindir dalam al-Qur’an dengan sindiran “afala ta’qilun”
(apakah kamu tidak berpikir), “faf’alu ma tu’marun” (lakukanlah apa yang
telah diperintahkan), afala yubshiruun (apakah mereka tidak melihatnya),
dan banyak lagi redaksi sindiran Allah kepada manusia untuk selalu sadar akan jati
dirinya sebagai hamba Allah (Abdullah) maupun sebagai
Khalifatullah (Pemimpin Di Muka bumi).
Kesadaran manusia merupakan sesuatu yang fundamental dalam hidup ini karena ia
merupakan pembuka segala hal menuju kebaikan, begitu pula dalam mengembangkan potensi
kepemimpinan, Rasulullah telah beramanat kepada umatnya bahwa setiap manusia
merupakan pemimpin dalam segala hal, baik dalam wilayah personal atau diri
sendiri, keluarga, organisasi, masyarakat, agama maupun Negara sekalipun untuk
selalu sadar akan jati dirinya sebagai manusia pemimpin. Kesadaran akan didapat
manakala pertanyaan-pertanyaan seperti di bawah ini telah kita pikirkan dan
aplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.
1. Siapa kita ini?
2. Untuk apa kita diciptakan di
muka bumi ini?
3. Apakah kita penting dalam mengarungi
hidup ini?
4. Pernahkah kita berkontribusi
sebagai manusia untuk menjaga serta menciptakan kita, keluarga, masyarakat
sekitar menjadi pribadi yang muslim?
5. Pernahkah kita berprestasi
sebagai manusia untuk menjaga serta menciptakan kita, keluarga, masyarakat
sekitar menjadi pribadi yang muslim?
6. Pernahkah kita bergembira
ketika kontrbusi dan prestasi kita telah menghantarkan manusia menjadi pribad
yang muslim?
Pertanyaan di atas merupakan
rangkuman kecil agar kita selalu sadar diri sebagai hamba dan khalifah Allah.
Sekarang bukan lagi saatnya untuk berdebat siapa yang salah atau yang benar
tetapi mulailah sadar bahwa kita adalah manusia individu sekaligus manusia
sosial dalam mengarungi serta menegakan ajaran-ajaran yang telah dituliskan
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Apakah kita hanya melihat ajaran-ajaran saja
dengan cara mengaji dan mengkajinya? Tidak tetapi lebih dari itu.
Kedua adalah sistem yang
kurang tepat. Sering kali kita memaksakan logika picik kita yang sok
cerdas, pintar dalam memecahkan masalah—akibatnya seringkali kita bahwa
Musyawarah merupakan jalan untuk memecahkan masalah, bukan egoism diri kita
yang telah berumur tuan ataupun telah sarjana tetapi hasil musyawarah itulah
yang harus kita perhatikan dan laksanakan dalam beroganisasi maupun ketika
memimpin masyarakat. Seperti halnya ketika ide kita dilontarkan untuk membuat
sistem berorganisasi yang baik dalam musyawarah, namun kita malah berbalik arah
bahwa sistem tersebut merupakan sebuah sistem yang memang jelas-jelas buruk
untuk dilaksanakan ketika hasil musyawarah menolak hal tersebut. Alhasil
disamping kita mengkritisi sistem yang buruk tetapi bukan hanya mengkritisi
saja, tetapi harus menawarkan beberapa konsep sistem yang memang harus
dimusyawarahkan dan itu bisa laksanakan. Jangan sampai ketika sistem yang
kurang tepat kemudian terus berlanjut dan berlanjut sampai tak ada gantinya.
Terakhir adalah struktur yang
tidak berfungsi. Betapa sering kita menyalahkan orang lain yang telah berbuat
sepele kemudian merembet keberbagai persoalan yang lainnya. Pada akhirnya
struktur menjadi korban dari segelintir orang yang tidak berfungsi. Oleh sebab
itu ketika struktur terlihat tidak berfungsi disinilah peran setiap orang untuk
selalu mengingatkan serta memotivasinya untuk tidak saling mengandalkan bahwa
dia lebih tinggi derajat organisatorisnya. Diperlukan kreativitas berpikir
serta kelegowoan hati untuk menyelesaikan manakala melihat struktur mulai tidak
berfungsi lagi.
Bukankah Islam bila dilihat
dari berbagai aspek menghendaki perubahan masyarakat demi tujuan duniawi maupun
ukrawi. Islam telah mengajarkan kepada kita berbagai macam komprehensif
ajarannya baik berorganisasi, keluarga, politik, sosial, berekonomi maupun
bernegara untuk diaplikasikannya ajaran-ajaran Islam, bukan hanya dibaca dan dibaca oleh kita. Misalnya saja Imam
Ghazali, Rashid Ridha, Hasan al-Bana dan al-Maudhudi bahwa ajaran Islam
merupakan ajaran yang paling lengkap.
Tetapi yang perlu disadari adalah apakah kita sendiri hendak menghancurkannya
ataukah membangunnya. Konsep dalam al-Qur’an, Hadits, Ijma maupun Hasil Qiyas
(pendapat Ulama) terlalu indah jika hanya
kenang dan dibaca, oleh sebab itu apakah dia (ajaran Islam) hanya
sebatas konsep saja ataukah sebaliknya, apakah kita hanya berdiam diri dengan
melihat kehancuran demi kehancuran pada masyarakat kita atau sebaliknya. Itu
semua tergantung pada diri kita masing-masing. Amanat allah kepada manusia dalam surat
ar-Ra’d ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu
kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.” Mulailah
mengembangkan diri, memberi contoh, memotivasi diri untuk menjadi pemimpin
sesungguhnya.
Setelah merenungi beberapa
permasalahan serta tanggapan di atas, maka mulailah sedini mungkin untuk menyadari
hal itu semua, beranjak dari fenomena keterpurukan menuju kebangkitan bukan
hanya sebatas romantisme peradaban saja—lebih dari itu. Frank Peppers dalam
bukunya telah mengingatkan kita untuk menjadi seorang yang kreatif serta
merumuskan hal-hal yang terlihat tidak jelas (absurd) menjadi jelas apa
yang harus dilakukan oleh kita, yaitu Apa yang seharusnya kita lakukan hari ini
ketika melihat persamalahan tersebut? Kemudian bagaimana kita melakukan
perwujudan tersebut? Dan yang ketiga Kpan kita harus memulainya?.
Untuk mengakhiri pembahasan ini
yang terpenting adalah meneladani sikap akhlak Rasulullah untuk menjadi
pemimpin Islami sejati yang tak punya harta (bukan berarti dilarang kaya) dan
berpengaruh kepada seluruh dunia oleh-Nya.
Sebuah riwayat ulama dapat menjadi renungan kita sehari-hari agar menjadi
seorang pemimpin sesungguhnya baik dalam kapasitas individu maupun social-keagamaan:
“Jadilah seorang yang alim
(ahli ilmu) atau Pengajar ilmu atau Pendengar Ilmu atau Pecinta Ilmu dan
janganlah menjadi yang kelima—maka celakalah dia.”
Pernyataan di atas merupakan
buah peringatan kepada kita agar selalu beraktivitas dengan kapasitas keilmuan,
sebab jika tidak kita akan menjadi orang yang kelima dari pendapat ulama di atas
yaitu orang yang tidak masuk dalam kriterium orang berilmu, pengajar, pendengar
maupun pencinta. Seperti penghujat, pembenci, perusak dan bentuk kezoliman yang
lainnya.