Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Thursday, 5 November 2015

Agama dan Kontestasi Politik di Indonesia


Perhelatan politik Indonesia selalu menjadi bahan perdebatan sengit yang tiada habis-habisnya. Tak pelak, diskursus politik selalu dikait-kaitkan dengan berbagai macam isu lainnya. Salah satunya yaitu agama-kepercayaan. Agama-Kepercayaan yang diyakini menjadi obat perdamaian bagi umatnya, kini berubah menjadi taktis pragmatis. Entah karena pemeluknya sudah mulai bosan dengan asupan-asupan katastrofa atau memang agama mulai terlihat stagnan dalam pengejewantahannya. Bahkan ketika politik sudah mendekati agama-kepercayaan, tak jarang sering menjadi objek pengkambinghitaman atas ulah politik praksis (baca: kekuasaan).
Beragam kasus atas nama agama-kepercayaan di Indonesia, seolah menguburkan nilai universal (misi perdamaian) dari ajarannya. Kasus Yasmin Bogor, Syiah di Madura, FPI-AKBB di Monas, Pembubaran Shalat Hari Raya di Tolikara, Pembakaran Gereja di Aceh Singkil, Ahmadiyah di Cikeusik dan banyak lainnya—seolah tak ada habisnya. Legitimasi atas nama agama-kepercayaan menjadi bahan baku untuk mendiskreditkan, mengadudomba bahkan menghakimi pemeluk yang berbeda. Di tambah lagi dengan ruang kontestasi politik praktis di Indonesia, hal itu menambah daftar panjang parahnya persoalan kebhinekaan Indonesia. 
Politik pencitraan merupakan senjata ampuh sebagai langkah taktis, termasuk melalui penerbitan kebijakan, untuk menciptakan sebuah citra semata atau untuk mengedepankan sebuah citra tandingan terhadap stigma atau citra tertentu yang dianggap tidak menguntungkan daerah. Sering kali politik pencitraan ini menggunakan simbol-simbol identitas agama tertentu ataupun dengan mengedepankan satu interpretasi tunggal dari agama tersebut. Konsekuensinya, kelompok masyarakat yang tidak ikut mengusung simbol tersebut, terutama dialami oleh kelompok minoritas berdasarkan agama dan budaya, menjadi terpinggirkan.(Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, 2010, 22).
Persoalan demi persoalan seharusnya menjadi bahan renungan dari stakeholders seperti pemerintah maupun DPR untuk menyelesaikan persoalan endemik dan penuh resisten ini. Namun harapan itu juga tak kunjung selesai secara komprehensif. Pemerintah, DPR atau stakeholder—lainnya seolah terlihat kasuistik dalam menyelesaikannya. Kasus atas nama agama dan kepercayaan seperti feonema gunung es, kecil diatas tetapi diakar permukaan tidak. Dari sini juga ruangnya kontestasi politik dimulai. Kasus ini berperan penting untuk membuat eksekutif dan legislatif memainkan peran grand desain isu populis untuk meraup suara rakyat.
Upaya peningkatan kerukunan umat beragama/kepercayaan belum dapat sepenuhnya terwujud di seluruh wilayah Tanah Air. Permasalahannya jelas yaitu: (1) Peraturan perundangan yang ada belum secara komprehensif mengakomodasi dinamika perubahan dan perkembangan di masyarakat; (2) Sosialisasi dan penerapan peraturan perundangan belum optimal; (3) Koordinasi pencegahan dan penyelesaian konflik baik ditingkat pusat dan daerah belum optimal; (4) Pengelolaan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat untuk menjaga harmoni sosial belum optimal. (RPJMN 2015-2019, buku II, 193). Belum lagi persoalan internal pemeluk agama dan kepercayaan, menjadikan daftar hitam sulitnya merangkul kebhinekaan Indonesia.
Konflik bernuansa SARA, konflik politik, konflik perebutan sumber daya alam, diskriminasi, dan kekerasan lain yang merusak fasilitas publik, serta tindakan terorisme, sebagai refleksi adanya kesenjangan, masih tetap menjadi permasalahan dan tantangan. Apabila tidak ditangani dengan serius akan berpotensi menghambat jalannya proses pemantapan konsolidasi demokrasi substansial di Indonesia. Oleh karena itu, dalam pemantapan proses positif konsolidasi demokrasi perlu segera dilakukan internalisasi nilai-nilai demokrasi melalui berbagai arah kebijakan dan strategi yang tepat, didukung dengan intervensi anggaran yang tepat, kerangka regulasi yang kuat dan terintegrasi, dan kerangka kelembagaan yang tepat dan solid. Jangan sampai konflik agama dan kepercayaan menjadi bahan baku citra tersendiri untuk menghegemoni atas nama golongan minoritas-mayoritas atau sebaliknya.
Kita tidak pernah belajar dari konflik hebat di wilayah timur tengah dan sekitarnya, seperti dalam persoalan politik dan agama. Manusia seolah tak bernilai. Pemaksaan serta kebuasaan hukum atas nama agama—melegitimasi kekerasan berbentuk negara. Agama dan negara kita sudah berkelindan dan tak terrasionalkan. Negara kini kehilangan taringnya sebagai pemersatu dengan tanpa keberpihakannya dalam apapun. Pada akhirnya negara sudah menjadi citra taktis para politisi untuk menghegemoni kekuasaannya. Berkaca pada pemilu 2014 lalu, secara terang-terangan para politisi melakukan hate speech (menebar kebencian) atas nama agama untuk menjatuhkan lawannya demi meraup suara tinggi—tak lain demi kekuasaan belaka.
Kondisi politik pencitraan di atas sebetulnya tidak berbeda jauh seperti penerapan hukum pidana atas nama agama di Sudan. Ketika rezim Ja’far Numery berkuasa selama 16 tahun (1969-1985) setelah melakukan kudeta militer. Dimana semula kebijakan-kebijakannya dikenal dengan ‘nasionalis sekuler’ sebagai rezim sebelumnya. Namun diakhir pemerintahannya tiba-tiba berubah menjadi religious. Pada tanggal 8 September 1983 mengeluarkan dekrit presiden yang memberlakukan syariat Islam sebagai satu-satunya hukum di Sudan. (Taufik dan Samsu, Politik Syariat Islam, 115).  Lebih dari 20 kebijakan, hukum, peraturan dirumuskan secara tergesa-gesa dan diumumkan Numery setiap minggu di Media. Perubahan ini ditenggarai karena menguatnya revivalisme Islam, potensi politiknya, serta keinginan Numeiry untuk mengontrol dan mengoptasi kekuatan tersebut di Sudan. Pada akhirnya kekuatan politiknya hanya dilakukan untuk mendapatkan citra populis. Apakah kasus atas nama agama di Indonesia memungkin sama seperti negara di Timur tengah? Hal itu bukan tidak mungkin, jika persoalan selalu ditanggapi secara kasuistik tidak secara komprehensif, maka bersiaplah Indonesia akan menjadi penuh dengan konflik kekerasan bahkan pembunuhan secara masif. Apakah pilkada serentak nanti akan berujung dengan kasus yang sama, yaitu menggunakan hatespeech sebagai katastrofa demi meraih kekuasaannya.




Monday, 15 June 2015

Atas Nama Perlakuan Khusus (Special Treatment), Perempuan Dilarang Aktivitas Malam di Banda Aceh


Baru-baru ini Walikota Banda Aceh lliza Sa’aduddin Djamal menerapkan jam malam bagi perempuan mulai 4 juni 2015. Dalam  Instruksinya dinyatakan, aktivitas perempuan pekerja pada tempat wisata, rekreasi, hiburan, penyedia layanan internet, kafe atau sejenisnya, dan sarana olahraga dibatasi hingga pukul 23.00 WIB. Dan untuk aktivitas anak di bawah umur dan perempuan umumnya pada tempat itu dibatasi hingga pukul 22.00, kecuali bersama keluarga dan/atau suami. Beberapa alasan mengapa aturan ini diberlakukan? Menurut data yang dilansir dari beberapa media, pertama tak lain sebagai langkah preventif terhadap maraknya pelecehan seksual terhadap perempuan di Aceh. Alasan kedua yaitu berkaitan dengan moralitas. Alasan ketiga kewenangan otonomi khusus Aceh.
Jika melihat beberapa alasan di atas, ada beberapa catatan penting yang harus dikaji ulang bagi stakeholders (terkhusus pemerintahan Aceh)— ketika memberlakukan jam malam kepada perempuan. Pertama, tujuan pembentukan kebijakan daerah tersebut. Apakah dengan memberlakukan jam malam aktivitas kekerasan seksual atau pelecehan seksual akan akan berkurang atau hilang. Alasan ini sangat terlihat ambigu, karena aktivitas (delik) pelecehan seksual atau sejenisnya— bukan ditimbulkan oleh pihak perempuan (sebagai korban) tetapi yang harus dicermati adalah pihak pelaku perbuatan (delik). Selain itu, kebijakan ini menempatkan sekaligus menstigma perempuan sebagai makhluk pembawa malapetaka, hal itu jelas merupakan tindakan diskriminasi, yang menjustifikasi budaya menyalahkan korban (blaming the victim) bila terjadi kekerasan seksual. Di lain pihak, pemerintah Aceh juga alva bahwa tindakan kekerasan seksual atau pelecehan seksual bukan saja hanya dilakukan di malam hari, tetapi juga bisa dilakukan di siang hari, dengan berbagai macam cara dan modusnya, bahkan kerabat/teman dekatpun sangat berpotensi untuk menjadi pelaku pelecehan seksual terhadap perempuan.
Catatan kedua yaitu bagaimanakah dampak yang ditimbulkan akibat kehadiran serta pelaksanaan kebijakan daerah tentang pelarangan keluar malam ini. Secara substansial kebijakan baru ini tak berbeda jauh dengan pelaksanaan kebijakan Perda Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Dimana kriminalisasi terhadap perempuan akibat kebijakan tersebut dengan melakukan penangkapan pada perempuan kelas pekerja. Dalam penuturan mereka, perempuan-perempuan lain yang mereka kenali dan ikut menjadi korban salah tangkap adalah juga berasal dari kelas sosial yang sama. (Atas Nama Otonomi Daerah: 2010, Komnas Perempuan, 39). Sangat naïf pada era sekarang, jika perempuan hanya melakukan aktivitasnya hanya siang hari. Coba kita lihat apakah aktivitas perempuan hanya sekedar di sumur, dapur dan kasur? Tentu saja tidak, para pekerja seperti dokter kondungan, perawat, bidan, programmer, pramugari, dan lain-lain—merupakan sebuah keniscayaan bahwa perempuan bukan makhluk untuk dikebiri. Kebijakan ini juga berpotensi untuk mengkriminalkan kelas pekerja perempuan pada aras menangah (midle class) ke bawah, tetapi untuk kelas pekerja atas, sama sekali tidak terjama.
Catatan ketiga, yang perlu diperhatikan oleh stakeholders yaitu apakah dengan kebijakan baru ini telah diperhatikan oleh Kemendagri untuk mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan nasional dan daerah berdasarkan prinsip HAM dan kesetaraan gender sesuai dengan RPJMN. (Buku I, Agenda Pembangunan Nasional 2015: 2015, Kementrian PPN & Bapennas, 144). Jika dilihat dari prinsip konstitusional, kebijakan keluar Walikota Banda Aceh ini jelas melanggar hak-hak konstitusional perempuan, yaitu bertentangan dengan atas jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil Pasal 28D (1), hak atas kedudukan dan perlakuan yang sama di depan hukum Pasal 27 (1) dan 28D (1), atas kebebasan berekspresi Pasal 28E (2), 28I (1), hak untuk tidak takut berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya Pasal 28G (1), hak atas rasa aman Pasal 28G (2), hak atas perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif Pasal 281 (2). Selain itu juga bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Perlakuan Spesial atau Marginalisasi Perempuan
Perlakuan jam malam dengan mengatasnamakan moralitas serta perlidungan perempuan dari tindak kejahatan, seharusnya dikaji lebih dalam oleh Pemerintah Aceh, khususnya Walikota Banda Aceh. Hal itu bukan saja memunculkan sebuah perlindungan, tetapi sebuah pengkerdilan kebebasan secara bertahap. Alasan perlidungan perempuan bagi tindakan kejahatan dengan jalan perlakuan istimewa (special treatment) kepada perempuan memang merupakan sebuah kebaikan tersendiri, hal itu jelas akan memunculkan prinsip kesetaraan. Namun pelarangan aktivitas jam malam jelas bukan sebuah tindakan istimewa (special treatment) kepada perempuan. Karena disadari atau tidak, ini jelas membatasi sebuah aktivitas kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya. Terlebih untuk berkespresi dan mengembangkan diri. Dengan mengatasnamakan Perlakuan istimewa kepada perempuan, sebetulnya secara substansial telah menstigma dan memarginalkan perempuan dalam kebijakan ini. Indikasi itu terlihat pada arah serta prinsip kesetaraan gender tidak dihadirkan. Seperti muatan akses perempuan untuk mendapatkan haknya seperti ekonomi, politik informasi, pendidikan dan lain-lain secara setara laki-laki. Begitu juga dengan partisipasi, kontrol dan manfaat kepada perempuan untuk diperlakukan setara, bukan spesial dalam kategorial perlakuan marginal.

*Salam Pecinta Kesederhanaan


Monday, 4 May 2015

Thomas Alva Edison Sang Pekerja Keras


Siapa yang tak kenal dengan Thomas Alva Edison, seorang penemu bola lampu dengan ribuan percobaan. Nama Thomas Alva Edison, sejak kecil telah dikenalkan oleh guru kita dengan segudang keberhasilannya. Namun dibalik sisi suksesnya, sebetulnya bagaimana perjalanan biografi Thomas Alva Edison ini. Apakah ia memiliki magis tersendiri agar menjadi familiar, ataukah ia betul-betul seorang yang ditakdirkan untuk menjadi terkenal? Yang jelas Thomas juga seorang manusia, ia bukan seorang nabi atau apapun. Menikmati percobaan demi percobaan secara keras itulah alamat sikap optimistiknya. Bahkan hingga kini, salah satu kutipan inspirasi yang paling terkenal darinya yaitu inspirasi 1% dan 99% kerja keras, bakat 1% dan 99% kerja keras.

Menurut catatan yang ada, Thomas Alva Edison dilahirkan di kota Milan, Ohio Amerika Serikat pada tanggal 11 Februari 1847 dan wafat di New Jersey, Amerika Serikat pada tanggal 18 Oktober 1931. Jauh sebelum melakukan penemuan bola lampu, pada masa kecil, pendidikan formalnya hanya berlangsung hingga 3 (tiga) tahun saja, karena dirasa tidak memiliki reputasi nilai baik. Untuk itu, ibunya memilih memberhentikannya, dan mengajarinya sendiri di rumah. Dikatakan dalam bukunya Michael Heart, bahwa pihak guru dari sekolah menganggap Thomas Alva Edison anak yang dungu luar biasa.[1] Bahkan dalam bukunya Ahman Sutardi, bahwa pada masa kanak-kanak Edison terkena kelainan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) yaitu kelainan berupa tingkah laku yang hiperaktif sebagai akibat kurangnya perhatian dari lingkungan sekitar.[2]

Rangkaian penelitian manualnya secara hiperaktif terjadi ketika Edison ingin melihat bara api dengan membakar gudang tumpukan jerami milik ayahnya. Peristiwa itu membuat bokongnya Edison dipukul oleh ayahnya secara bertubi-tubi. Contoh lainnya yaitu Edison juga sering membuat marah gurunya seperti melontarkan banyak pertanyaan; mengapa hujan, mengapa gerbong kereta dapat bergerak, dan lain-lain. [3]

Setelah diberhentikan dari sekolah, Edison kecil bisa leluasa membaca buku-buku ilmiah dewasa.  Karena ketertarikannya dalam membaca buku ilmiah, setelah itu ia mulai mempraktikan (percobaan ilmiah) apa yang ia telah bacanya sendiri, yang dilakukan di ruang bawah tanah milik orang tuanya. Beberapa orang mengatakan bahwa setelah diberhentikan dari sekolah, Edison disekolahkan kembali. Namun terlepas dari itu, Edison kecil ternyata tak cukup waktu untuk selalu belajar ke jenjang yang lebih tinggi. Pada usia 12 tahun, ia mulai bekerja sebagai penjual Koran, buah-buahan dan gula-gula di kreta api. Setelah itu ia menjadi operator telegraf. Tak lama setelah itu, Di New York ia diminta untuk menjadi kepala mesin telegraf yang penting. Mesin-mesin itu mengirimkan berita bisnis ke seluruh perusahaan terkemuka di New York.[4]

Berkat kerja keras dan prinsip pantang menyerah, kemudian lahirlah ciptaan pertamanya yaitu perekam suara elektronik ketika umurnya dua puluh satu tahun. Hasil karyanya itu tidak dijualnya. Sesudah itu dia menekuni pembuatan peralatan yang diharapnya bisa terjual di pasar, tak lama sesudah ia berhasil membuat perekam suara elektronik, dia menemukan dan menyempurnakan mesin telegram yang secara otomatis mencetak huruf, yang dijualnya seharga 40.000 dolar, suatu jumlah besar pada saat itu. Sehabis itu, bagaikan antri dia menemukan hasil karya baru dan dalam tempo singkat Edison bukan saja masyhur tetapi juga berduit. Mungkin, penemuannya yang paling asli adalah mesin piringan hitam yang dipatenkannya tahun 1877. Tetapi, lebih terkenal di dunia dari itu adalah pengembangan bola lampu pijar yang praktis tahun 1879.[5]

Edison juga memberi sumbangan besar luar biasa buat perkembangan kamera perfilman serta proyektor. Dia membuat penyempurnaan penting pertilponan (karbon transmiternya meningkatkan kejelasan pendengaran), penyempurnaan di bidang telegram, dan mesin tik. Diantara penemuan lainnya antara lain mesin dikte, mesin kopi dan tempat penyimpanan yang digerakkan baterei. Boleh dibilang, Edison merancang lebih dari 1000 penemuan, suatu jumlah yang betul-betul tak masuk akal. Meski secara pembawaan dia bukan seorang ilmuwan murni, Edison membikin satu penemuan ilmiah. Di tahun 1882 dia menemukan bahwa dalam keadaan mendekati hampa udara, arus listrik dapat dialirkan diantara dua kawat yang tidak bersentuhan satu sama lain. Fenomena ini, disebut penemuan Edisonbukan sekedar punya maksud teoritis yang penting, tetapi juga punya arti penggunaan praktis yang bermakna. Ini menuntun ke arah perkembangan tabung hampa udara dan peletakan dasar industri elektronik.[6]

Hampir sepenuh masa hidupnya, Edison menderita pendengaran lemah. Tetapi, meski begitu, dia lebih dari sekedar dapat mengatasi hambatan itu dengan kerja kerasnya yang mengagumkan. Kurang lebih sekitar 1.093 buah penemuannya telah dipatenkan miliknya.[7] Perjalanan panjang dan tak mengenal letih dari Edison telah membuahkan hasil yang amat luar biasa. Baginya, kegagalan demi kegagalan merupakan syarat utama menuju sebuah keberhasilan. Keberhasilan merupakan sebuah proses menuju sukses, dari banyak kegagalan-lah justeru akan mendapat insirasi baru. Bagi Edison, kegagalan dipandang sebagai sesuatu yang positif dalam proses pencarian jawaban melalui praktikum yang sering dilakukannya.

Bahkan Edison kerap mengatakan kegagalan yang terjadi serta muncul secara tiba-tiba sebagai proses kesuksesan karena dari kegagalan-lah akan ditemukan buah penemuan yang baru. Edison berpendapat bahwa ia telah menemukan 1.000 jenis bahah (kawat) yang tidak bisa digunakan untuk kawat halus pengantar arus listrik dalam bola lampu, hal itu berkat penelitian dan kegagalannya selama ini. Tidak salah Edison mengatakan inspirasi hanya 1% dan sisanya 99% adalah kerja keras. Ide memang mahal, tetapi realisasi ide lebih mahal dari apa yang kita bayangkan. karena dari realisasilah kata sukses secara nyata akan berjalan tanpa tekanan. Ini yang membedakan antara cita-cita dan tujuan hidup yaitu realisasi nyata tanpa rekayasa.




[1] Thomas Alva Edison Urutan 38 dar Michael H.  Heart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Ed. Terj. H. Mahbub Djunaidi, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1982).
[2] Ahman Sutardi, Ingin Cepat Sukses? Gunakan Formula Sukses Thomas Alva Edison, (Jakarta: PT Elex Meia Komputindo, 2008) , hal. 5
[3] Ahman Sutardi, Ingin Cepat Sukses? Gunakan Formula Sukses Thomas Alva Edison, (Jakarta: PT Elex Meia Komputindo, 2008), hal. xxv
[4] Thomas  Edison, http://id.wikipedia.org/wiki/Thomas__Edison. diakes pada tanggal 21 April 2015
[5] Thomas Alva Edison Urutan 38 dar Michael H.  Heart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Ed. Terj. H. Mahbub Djunaidi, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1982).
[6] Thomas Alva Edison Urutan 38 dar Michael H.  Heart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Ed. Terj. H. Mahbub Djunaidi, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1982).
[7] Ahman Sutardi, Ingin Cepat Sukses? Gunakan Formula Sukses Thomas Alva Edison, (Jakarta: PT Elex Meia Komputindo, 2008), hal. Xi

Tuesday, 28 April 2015

Manusiawikah Hukuman Mati?



Pasca dikeluarkannya surat perintah eksekusi mati gelombang II oleh pihak Kejaksaan, maka 9 orang terdakwa pidana mati sudah final dan tidak bisa diganggu gugat untuk membatalkan eksekusinya. . Perdebatan sengit tentang hukuman mati pun kian merambah cakrawala tersendiri bagi eksistensi hukum pidana Indonesia. Persoalan pro dan kontra sudah tidak diindahkan lagi bagi pemerintahan jokowi-JK. Jawabannya tak lain adalah karena secara tertulis (normative), Indonesia sampai saat ini masih belum juga merevisi pidana warisan Code Penal Perancis dan Wetboek Van Strafrecht Belanda tersebut. Jelas, di sini asas legalitas sangat berperan penting untuk melancarkan eksekusi mati kepada terdakwa, disamping alasan lainnya.
Hukuman mati digolongan dalam pidana berjenis extra ordinary crime, yang memerlukan penanganan secara ekstra keras, maka dalam proses penegakan hukum pidananya. Lebih jelasnya hukuman mati diatur dalam pasal 10 KUHP, yang memuat dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok, terdiri dari: Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda; Hukuman tambahan terdiri dari: Pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim.
Bagi yang pro, menurut C. Nur Patria, hukuman mati sebenarnya bertujuan bukan untuk balas dendam, tetapi sebagai suatu cara untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Lebih tegasnya, hukuman mati bertujuan pada unsur, yaitu keadilan, kepastian hukum dan manfaat atau kegunaan.  Dari aspek keadilan, maka penjatuhan hukuman mati seimbang dengan tindak kejahatan yang dilakukannya (terorisme, narkoba, pembunuhan berencana, dll). Dari aspek kepastian hukum, yaitu ditegakkannya hukum yang ada dan diberlakukan, menunjukkan adanya konsistensi, ketegasan, bahwa apa yang tertulis bukan sebuah angan-angan, khayalan tetapi kenyataan yang dapat diwujudkan dengan tidak pandang bulu. Kepastian hukum juga hal yang penting bagi terpidana mati, yang sudah barang tentu berada dalam penantian sejak dijatuhi vonis mati pada tingkat pengadilan pertama sampai dengan ditolaknya grasi oleh Presiden. Dari aspek manfaat/kegunaan, hukuman mati akan membuat efek jera kepada orang lain yang telah dan akan melakukan kejahatan, serta juga dapat memelihara wibawa pemerintah serta para penegak hukum.
Persoalannya adalah apakah hukuman mati merupakan alat rekayasa yang paling mutakhir dalam peradaban yang konon menjunjung tinggi nilai martabat asasi manusia? Humaniskah ketika hukuman mati diparadigmakan sebagai aspek balas dendam (retributive)? Padahal semangat hukum pidana telah mengalami perubahan ke arah  restoratif (restorative justice). Di sisi lain, hukuman mati juga tidak memberikan efek jera kepada para mafia untuk melancarkan aksi extra crime-nya. Persoalan lainya adalah apakah putusan hakim menjatuhkan vonis pidana mati kepada para terdakwa benar-benar terbukti sangat meyakinkan (beyond reasonable doubt)? Dan apakah hukuman mati merupakan buah pembelajaran bagi yang lainnya? Humaniskah hukuman mati diterapkan kepada kita sekarang?
***
Kacamata pengadilan telah membuktikan bahwa para terdakwa terbukti tanpa hak dan melawan hukum melakukan tindak pidana extra ordinary crime. Namun berdasarkan pengamatan lainnya, ada yang perlu dicatat yaitu ketika hakim melakukan pembuktian dalam persidanganm, tindak pidana (delik) tidak hanya sekedar dilihat dari “memilki” dan “menguasai” narkoba. Menurut Prof. Indriayanto Seno Adji, seharusnya lebih dari itu, seperti bagaimana dan dengan cara apa barang haram tersebut bisa ditangan para terdakwa, tak lain sebagai barang bukti ada tidaknya unsur tanpa hak dan melawan hukum. Lebih lanjut menurutnya, kalau tidak ada fakta/bukti (evidence) tentang bagaimana dan dengan cara apa barang tersebut datang, secara otomatis tidak ada kesalahan dan melawan hukum.
Apabila, para terdakwa memang secara materiele daad terbukti menguasai dan memiliki, artinya ada actus reus, tidaklah selalu harus diartikan dengan melanggar  tindak pidana. Karena masih harus dilihat ada tidaknya mens rea pada diri para pelaku berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan (afwijzigheid van alle schuld), walaupun secara gramatikal perbuataannya memenuhi rumusan delik. (Indriayanto Seno Adji, 2009, 261-262).
Bayangkan saja, misalnya seorang melempar senjata api/peluru ke halaman rumah tetangganya yang kebetulan terganggu hubungan diantara keduanya, dan si pelempar  memberitahu ke polisi bahwa tetangganya memiliki tanpa hak senjata api. Polisi datang dan menemui senjata/peluru yang tidak diketahui pemilik rumah, sekaligus pemilik rumah dikenai pelanggaran Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No. 12 tahun 1951. Hal itu sama halnya menempatkan seseorang dengan persangkaan fitnah bahwa ia melakukan delik lasterlijke verdach-making, yang pada akhirnya ia bisa dijerat dengan melakukan tindak penguasaan atau kepemilikan.
***
Jika kita melihat spirit konstitusi kita pasca amandemen, sebetulnya arah humanisme sistem peradilan pidana telah memberikan ruang pada nilai martabat manusia. Pasal 28A yang menyatakan bahwa: Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Karena itu termasuk ke dalam hak non-derogable human right—yang sifatnya tidak bisa dikurangi dan  dibatasi dalam keadaan apapun. Disamping itu, sebagai hukum dasar tertinggi (Grundnorm), seharuslah menjadi pedoman bagi segenap aturan hukum dibawahnya. Dilain pihak berdasarkan aturan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tentang hak untuk hidup (right to life) menyatakan bahwa “Setiap manusia berhak untuk hidup dan mendapat perlindungan hukum dan tiada yang dapat mecabut hak itu”.
Namun di sisi lain, konstitusi serta turunan hukum positif Indonesia masih memberikan gerak untuk mencabut hak-hak seseorang dalam keadaan tertentu, yaitu seperti dengan menghukum mati pada terdakwa dengan beberapa persyaratan. Hal itu juga tertuang dalam konstitusi kita pada Pasal 28 J ayat (2) yang berbunyi: dalam menjalankan hak dan kewaijbannya, setiap orang wajib dan tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang….”, makna pembatasan merupakan kualifikasi secara limitatif gerak seseorang untuk mendapatkan haknya secara terbatas.
Sekilas konstitusi kita memberikan ruang perlindungan HAM sekaligus membatasi pada hal-hal tertentu. Namun sangat jelas arah tujuan pidana hukuman mati Indonesia seperti logika Lombroso dan Garofalo (kriminolog), yang menyatakan: “pidana mati adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu-individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.
Perwujudan nilai hak asasi manusia untuk mempertahankan hidup di Indonesia telah tercabut dengan memasukan tindakan pidana tertentu pada golongan extra ordinary crime, yang memerlukan penanganan secara ekstra keras. Siapa bilang perbuatan pidana seperti narkoba, terorisme, pembunuhan berencana dan lain-lain—bukan perbuatan yang merugikan orang lain. Sangat betul 100% orang berpendapat ketika mereka telah melanggar pidana telah merusak tatanan masyarakat pada umumnya, bahkan telah menghancurkan generasi muda hingga berjuta-juta penerus bangsa ini.
Namun perlu diingat adalah hukum bukan saja seperti yang dibilang oleh Thomas Hobbes, Lombroso, Garofalo dan lain-lain—yang memberikan paradigma “hukum tak lain sebagai legitimasi efek jera pada manusia untuk dirubah dari sifat jahatnya. Logika seperti ini menandakan manusia merupakan makhluk jahat (homo homini lupus), yang pada akhirnya hukum bukan sarana pendidikan ke arah lebih baik. Tetapi menghakimi sifat manusia yang jahat dengan memusnahkannya.
Teori ini sebetulnya telah dibahas jauh-jauh hari, seperti yang Yesmil dan Adang, bahwa tujuan pemidanaan dalam KUHP tak lain untuk mempertahankan teori pencegahan umum (algemene preventive). Teori ini ingin mencapai tujuan pidana itu sendiri, yaitu semata-mata dengan membuat jera kepada setap orang agar mereka tidak melakukan kejahatan-kejatahan, terlebih ditunjukan kepada khalayak ramai. Dilain pihak, pemidanaan bertujuan sebagai upan balik agar gerak suggesti masyarakat lainnya tidak melakukan hal yang sama. (Yesmil Anwar & Adang, 36).
Persoalannya adalah apakah sikap manusia yang telah melakukan tindak pidana berat tidak bisa diresosialisasi atau diperbaiki? Jika jawaban negara hanya hukuman mati, jelas hukum kita tak ubahnya seperti warisan Prancis-Belanda yang hanya mengandalkan manusia tidak bisa diubah dengan cara apapun (fatalism).
Catatatan kecil yang sederhana, pernahkah terpikirkan bagi penegak hukum khususnya Presiden memberikan grasi dengan nilai lebih manusiawi, seperti tetap mempidanakan para terdakwa, dengan beberapa catatan riwayat perjalanan dengan rentang waktu yang cukup panjang, seperti 20 tahun. Karena demikian akan bisa memperlihatkan keseriusan negara untuk memperbaiki tindak, moral dan sikap para terdakwa untuk kembali lagi pada martabat asasi manusia sebagai makhluk yang baik tanpa noda dan dosa. Hal itu senada dengan pendapatnya Jean Jacques Rousseau, manusia merupakan mahkluk baik, faktor eksternal-lah yang membuat mereka tidak baik. Dari itu juga pemidanaan khusus menjadi media pembelajaran berharga untuk mengembalikan kebaikannya, bukan menghancurkannya.
Alasan efek jera yang ditimbulkan hukuman mati hanya mitos serta merupakan alasan yang direka-reka menurut beberapa pengamat. Hal ini dilihat dari survei komperehensif yang dilakukan oleh PBB pada 1988 dan 1996 yang menunjukkan fakta tak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa eksekusi mati memiliki efek jera yang lebih besar dari hukuman penjara seumur hidup. Tidak fair, manakala menempatkan logika perbuatan hukum hanya dilihat dari segi kausalitas (sebab-akibat), karena hal ini akan memunculkan pihak yang bersalah 100% adalah pihak tersangka/terpidana/terdakwa. Proses penegakan hukum pidana pada extra ordinary crime seharusnya memperhatikan prinsip penegakan HAM (doe process of law) dalam rangka mamanusiakan manusia (to humanize human being).
Perlu dicermati juga, eksekusi hukuman mati Indonesia secara langsung akan berpengaruh pada hubungan diplomatik antar negara, baik terkait masalah ekonomi, sosial, politik-budaya, tetapi yang palng menyakitkan yaitu diplomasi terkait para pekerja migrant Indonesia yang telah divonis hukuman mati di luar negeri. Dari tahun ketahun, upaya untuk membebaskan pekerja migran masih bermasalah, itu terlihat beberapa kali pemerintah kecolongan dalam melakukan diplomasinya kepada pihak negara luar.

*Salam Pecinta Kesederhanaan.

Monday, 27 April 2015

Minimal Batas Usia Perkawinan Ideal Analisis Medis


Minimal batas usia perkawinan di Indonesia bisa dilihat pada pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun. Demikian isi pasal pula 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 diulang pada pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, “Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harusa mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.
Bagi orang yang belum mencapai umur minimal tersebut akan kemungkinan melangsungkan perkawinan dengan syarat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain, seperti disebut dalam pasal 7 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, “Dalam hal penyimpangan ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat alin yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak peria maupun pihak wanita”. Ada point penting yang harus dijelaskan dalam bab ini terkait batas minimal usia perkawianan jika dilihat dari segi hukum dan medis.
Pertama dalam pandangan hukum Islam fikih klasik tidak memberikan batasan usia perkawinan, namun para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan. Dengan jelas para ulama mengacu pada ketentuan normatif seperti pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah, Khabar Sahabat, Ijtihad para ulama serta argumentasi kaidah lainnya. Para ulama menentukan kesiapan menikah dua mempelai laki-laki dan perempuan dengan menitikberatkan pada tingkat kedewasaannya, dengan tanda-tanda baligh pria maupun perempuan. Seperti dengan datangnya tanda haid, kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak, atau tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan. Adapun yang kedua para ulama menentukan kedewasaan dengan batasan minimal usia kedua mempelai seperti Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa itu mulai 15 tahun. Walaupun mereka dapat menerima kedewasaan dengan tanda-tanda, seperti di atas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masa kedewasaannya untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadinya taklif, dan karena akal pulalah adanya hukum.[1]  
Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datang mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka beralasan dengan “ketentuan dewasa menurut syarat ialah mimpi”, karenanya mendasarkan hukum kepada mimpi itu saja. Mimpi tidak diharapkan lagi datangnya bila usia telah 18 tahun. Umur antara 15 sampe 18 tahun masih diharapkan datangnya. Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa itu pada usia 18 tahun.
Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern orang memerlukan persiapan yang matang, sebab mereka masih kurang pengalaman hidup dan masih dalam proses belajar. namun demikian kepada mereka sudah dapat diberikan beberapa urusan sejak usia 18 tahun.[2]
Meninjau apa yang ada dalam kitab-kitab fiqih konvensional ini, dapat dibandingkan dengan hukum perkawinan di Indonesia yang menetapkan bahwa batas minimal usia perkawinan di Indonesia sejatinya adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Bagi mereka yang tidak mencapai usia ini maka harus meminta izin dari pengadilan, dan bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua.
Perlu dicatat disini, konsep ijtihad batas pada minimal yang diajukan oleh para ulama fikih merujuk pada nilai normatif yang relevansinya pada kala itu, terlihat melompati peristiwa perkawinan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah ketika berumur 6 tahun dan dicampurinya pada usia 9 tahun.[3] Namun para ulama fikih lebih dari itu. Di sini para ulama fikih melompat pada tingkat kontekstual zamannya dengan berijtihad pada batas usia minimal perkawinan dengan dua konsepsi yaitu nilai baligh dan batas minimal usia perkawinan. Antara usia 15 tahun menurut Syafi’iyah dan Hanabilah,  Abu Hanifah usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita, Imam Malik menetapkan 18 tahun baik laki-laki maupun perempuan dan pendapat Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun.
Secara tidak langsung, ijtihad para ulama di atas sangatlah dipengaruhi tidak saja berdasarkan dalil yang ada, namun lebih kepada konteks zaman dewasa kala itu. Begitu juga dengan peraturan perundangan Indonesia yang mengatur batas mimal usia perkawinan. Dalam KHI pasal 15 merumuskan: (1) untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yakni calon suami sekuang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri  sekurang kurangnya berumur 16 tahun. (2) bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2) ,(3) ,(4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.[4] 
Batas minimal 19 tahun bagi calon pria dan 16 tahun bagi perempuan merupakan ranah ijtihadi fikih ala ulama Indonesia yang sudah dipositifkan (diundang-udangkan). Meskipun begitu, spirit peningkatan usia perkawinan pada tahun itu jelas berbeda dengan minimal batas usia perkawinan ijtihad para ulama sebelumnya. Artinya kondisi masyarakat dan tingkat pendewasaan laki-laki dan perempuan di setiap wilayah bersifat kontekstual tergantung faktor-faktor yang mendukung kedewasaan, seperti faktor pendidikan, psikis, sosial, medis dan faktor lainnya.
Jika peningkatan batas usia perkawinan telah dilakukan sebelumnya oleh para ulama klasik dan hukum positif Indonesia pada tahun 1974, mengapa tidak jika saat ini peraturan pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sudah seharusnya direvisi karena berdasarkan beberapa ahli dan pandangan ahli.
Seperti Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus diperpanjang menjadi 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun bagi pria. Hal ini diperlukan karena zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab sosial.[5]
Dr. Marc Hendry Frank, mengatakan bahwa perkawinan sebaiknya dilakukan antara usia 20 sampai 25 tahun bagi wanita, dan antara 25 sampai 30 tahun bagi laki-laki. Tinjauan ini juga berdasarkan atas pertimbangan kesehatan. Para ahli Ilmu Jiwa Agama menilai bahwa kematangan adalah beragam pada seseorang tidak terjadi sebelum usia 25 tahun.
Perbedaan pendapat yang tidak terlalu tajam di atas menunjukan bahwa beberapa faktor ikut menentukan cepat atau lambatnya seseorang mencapai usia kedewasaan, terutama kedewasaan untuk berkeluarga. Menurut kondisi Indonesia sekarang, usia yang tepat bagi seseorang untuk menikah ialah sekurang-kurangnya umur 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi pria. Mengapa demikian? Sebab, usia tersebut calon suami istri perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin, sehingga pada usia itu seseorang telah matang jasmaninya, sempurna akalnya, dan dapat diterima sebagai anggota masyarakat secara utuh. Pada usia itu, menurut Allport, seseorang telah bisa memaparkan diri (extention of the self) kepada teman hidupnya, di samping biasa menilai dirinya secara obyektif dan mempunyai pandangan tentang posisi dirinya dalam kerangka hal-hal lain yang ada di dunia ini, sehingga ia tahu posisi dirinya dalam mengatur tingkah laku secara konsisten. Dengan kematangan itu kehidupan rumah tangga yang dibinanya diharapkan dapat berjalan sesuai ketentuan agama.
Begitu pula dengan penelitian medis lainnya, seperti ditemukan banyak faktor mengapa peningkatan batas usia minimal perkawinan diperlukan, karena usia di bawah 20 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit baik dari perempuan mapun dari laki-laki.
Menurut penelitian dari The National Center for Health Statistics, menurut The National Center for Health Statistics, pernikahan yang dilakukan di usia cukup muda, antara 12 hingga 21 tahun, tiga kali lebih banyak berakhir dengan perceraian dibandingkan dengan pernikahan pada usia yang lebih matang. Data di tahun 2002 tersebut memaparkan, 59% pernikahan wanita di bawah 18 tahun berakhir dengan perceraian dalam waktu 15 tahun menikah dibandingkan dengan 36% dari mereka yang menikah di usia lebih dari 20.
Dalam penelitian lainnya, dari 1.000 pria yang diteliti (berusia 25 - 34) ditemukan bahwa 81% di antaranya percaya bahwa waktu yang tepat untuk melepas lajang sekitar umur 25 sampai 27 tahun. Sedangkan untuk wanita, dari data statistik di Amerika Serikat pada tahun 2000 menunjukkan bahwa wanita rata-rata menikah pada usia 25. Pada usia tersebut kebanyakan wanita telah menyelesaikan pendidikannya, memiliki karir mapan dan bisa hidup terpisah dari orang tua.[6]
Berdasarkan catatan di atas, maka Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengimbau para remaja di bawah usia 20 tahun di tanah air untuk dapat menunda usia perkawinan atau tidak buru-buru menikah. Atau dengan kata lain jangan menikah di usia dini, menikahlah di usia matang. Dan menurut Kepala BKKBN Fasli Jalal menjelaskan, kasus pernikahan dini masih kerap ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia dengan usia pernikahan dini antara 16 hingga 19 tahun bahkan ada yang di bawah itu. Saat seorang perempuan menikah di usia 16 tahun dia mempunyai masa reproduksi jauh lebih panjang dibanding mereka yang menikah di atas usia 25 tahun dimana masa reproduksi yang lama maka kemungkinan untuk melahirkan semakin besar sehingga bisa saja mempunyai anak lebih dari dua bahkan lebih dari lima. Selain itu, menurut Fasli, pernikahan di usia dini bisa meningkatkan risiko kematian ibu melahirkan, karena salah satu penyebabnya adalah usia yang terlalu muda saat hamil.[7]
Selain itu berdasarkan catatan medis lainnya, bahwa menikah pada usia kisaran 21-35 tahun resiko gangguan kesehatan pada ibu hamil paling rendah yaitu sekitar 15%. Selain itu apabila dilihat dari perkembangan kematangan, wanita pada kelompok umur ini telah memiliki kematangan reproduksi, emosional maupun aspek sosial. Meskipun pada saat ini beberapa wanita di usia 21 tahun menunda pernikahan karena belum meletakan prioritas utama pada kehidupan baru tersebut. Pada umumnya usia ini merupakan usia yang ideal untuk anda hamil dan melahirkan untuk menekan resiko gangguan kesehatan baik pada ibu dan juga janin. Selain itu sebuah ahli mengatakan wanita pada usia 24 tahun mengalami puncak kesuburan dan pada usia selanjutnya mengalami penurunan kesuburan akan tetapi masih bisa hamil.[8]
Dari situ dapat disimpulkan bahwa sudah selayaknya perundangan terkait batas minimal usia perkawinan terlihat sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan lagi untuk saat ini, berdasarkan argumentasi medis dan pandangan keilmuan lainnya. Seperti yang kita tahu bahwa hukum islam seharusnya melihat prinsip al-hukmu yaduru ma’a illatihi yaitu sebuah hukum diterapkan harus berdasarkan ilat hukum itu sendiri. Dengan kata lain prinsip medis sudah selayaknya diterapkan saat ini untuk batas usia perkawinan.


[1] Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah, 1964), hal. 603.
[2] Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah, 1964), hal. 603
[3] Ed. Chuzaimah T. Yanggo dan H.A Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer,  (Jakarta: LSIK, Pustaka Firdaus, 2009), hal. 81
[4] Pasal 6 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[5] Ed. Chuzaimah T. Yanggo dan H.A Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer,  (Jakarta: LSIK, Pustaka Firdaus, 2009), hal. 84
[6] Ini Usia yang Tepat untuk Menikah, lebih lengkap lihat http://wolipop.detik.com/read/2014/04/25/193911/2566088/852/ini-usia-yang-tepat-untuk-menikah. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00
[7] Nikah Ideal Itu, 20 Tahun Bagi Wanita, 25 Tahun Bagi Pria, lebih lengkap baca: http://www.merdeka.com/peristiwa/bkkbn-nikah-ideal-itu-20-tahun-bagi-wanita-25-tahun-bagi-pria.html. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00